Media Belajar Bersama ~ Gak ada yang lebih keren dari orang yang mengejar impiannya
Tampilkan postingan dengan label hukumadat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukumadat. Tampilkan semua postingan

Jumat, 26 Januari 2024

Ujian Akhir Semester [27-01-24][Kelas terakhir]

Ujian Akhir Semester (UAS) adalah kegiatan akademis yang wajib dilakukan oleh setiap mahasiswa perguruan tinggi dalam menyelesaikan studinya. UAS merupakan bentuk evaluasi akhir mata kuliah yang menekankan pada aspek kognitif untuk menentukan kelulusan mahasiswa pada tiap mata kuliah. UAS dilaksanakan di akhir semester setelah semua proses belajar mengajar selesai .


Syarat untuk mengikuti UAS umumnya sama dengan pelaksanaan Ujian Tengah Semester (UTS). Namun, ada satu syarat khusus bagi mahasiswa yang mengikuti UAS, yaitu memenuhi syarat kehadiran perkuliahan minimal 75% atau maksimal empat kali ketidakhadiran dari total pertemuan kuliah .













UAS dinyatakan dalam bentuk angka atau huruf dan penilaian UAS merupakan rata-rata dari penjumlahan nilai dari dua atau lebih dosen pengampu . Nilai akhir UAS biasanya memiliki bobot yang lebih besar dibandingkan dengan komponen penilaian lainnya, seperti tugas atau kehadiran tatap muka .


Jadi, Ujian Akhir Semester adalah kegiatan akademis yang dilakukan oleh mahasiswa perguruan tinggi sebagai bentuk evaluasi akhir mata kuliah untuk menentukan kelulusan mahasiswa pada tiap mata kuliah .


Photo by Liza Summer


Share:

Jumat, 19 Januari 2024

Hukum Adat [19-01-24]

Hubungan antara Tri Hita Karana dengan Hukum Adat

Tri Hita Karana adalah sebuah filsafat tradisional yang berasal dari pulau Bali, Indonesia. Secara harfiah, Tri Hita Karana dapat diterjemahkan sebagai "tiga penyebab kesejahteraan" atau "tiga alasan kemakmuran" Filsafat ini mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan dan harmoni antara tiga aspek dalam kehidupan, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan manusia dengan sesamanya (Pawongan), dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya (Palemahan)  .


Dalam konteks hukum adat, Tri Hita Karana memiliki kaitan erat dengan prinsip-prinsip hukum adat yang berlaku di masyarakat Bali. Hukum adat adalah seperangkat aturan dan norma yang diwariskan secara turun-temurun dan mengatur kehidupan masyarakat adat Prinsip-prinsip hukum adat Bali, yang mencakup Tri Hita Karana, menjadi dasar dalam mengatur hubungan antara masyarakat dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitar.


Hubungan dengan Tuhan (Parahyangan): Dalam konteks hukum adat, hubungan manusia dengan Tuhan diwujudkan melalui pelaksanaan upacara keagamaan dan penghormatan terhadap dewa-dewa yang dipercaya. Upacara-upacara keagamaan ini merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat Bali dan diatur oleh hukum adat .


Hubungan dengan sesama manusia (Pawongan): Prinsip Pawongan dalam Tri Hita Karana mengajarkan pentingnya menjaga hubungan yang harmonis antara satu manusia dengan manusia lainnya. Dalam konteks hukum adat, prinsip ini tercermin dalam norma-norma sosial dan adat-istiadat yang mengatur interaksi antarindividu dalam masyarakat Bali. Hukum adat Bali mendorong kerukunan, toleransi, dan saling menghormati antara sesama manusia .



Dosen:

Dr. Cokorde Istri Dian Laksmi Dewi, SH.,MH.


Hubungan dengan alam sekitar (Palemahan): Prinsip Palemahan dalam Tri Hita Karana menekankan pentingnya menjaga hubungan harmonis antara manusia dengan alam sekitarnya. Dalam konteks hukum adat, prinsip ini tercermin dalam aturan-aturan yang mengatur pengelolaan sumber daya alam, pelestarian lingkungan, dan perlindungan terhadap flora dan fauna. Hukum adat Bali mendorong kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan alam sekitar .


Dengan demikian, Tri Hita Karana dan hukum adat saling terkait dan saling mempengaruhi. Prinsip-prinsip Tri Hita Karana menjadi landasan dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum adat Bali, yang bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang harmonis, seimbang, dan berkelanjutan di antara manusia, Tuhan, dan alam sekitar .


Photo by Zhu Peng

Share:

Sabtu, 02 Desember 2023

Hukum Adat [02-12-23]

Istilah Adat

Istilah “adat”,  berasal dari “adab” (bahasa Arab), pertama dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menunjuk kepada aturan kebiasaan yang selama ini telah ada dan untuk membedakannya dengan hukum yang bersumber dari agama (hukum syariah). 

Masing-masing daerah di Indonesia, memiliki istilah tersendiri, untuk menyebut adat, seperti: 

Aceh: Odot.

Lampung: Hadat.

Jawa Tengah/Timur: Ngadat.

Batak: Basa/Bicara.

Minangkabau: Adat Lembago.

Dayak: Mapupuh.

Bali: kerta, pala kerta, dresta, catur dresta, sima,tata krama, tata loka cara, awi-awig, perarem, geguwat, dll. 


Istilah Hukum Adat

Istilah “hukum adat”, pertama kali diperkenalkan  oleh C. Snouck Hurgronje, dengan nama “Adat Recht”,  dalam bukunya “De Atjehers”, yang terbit pada tahun 1892. Selanjutnya istilah ini  dipergunakan dan dipopulerkan oleh Van Vollenhoven.

Istilah tersebut sebenarnya untuk menyebut sistem pengendalian sosial (social control) yang tumbuh dan hidup di Indonesia. Adat recht adalah istilah yang paling mendekati untuk menyebut sistem pengendalian sosial yang hidup di Indonesia.

Resmi menjadi istilah yuridis tahun 1929 seperti tercantum dalam Indische Staatsregeling/I.S (1929) Pasal 134 ayat 2, baru dipergunakan istilah “hukum adat” (adattrecht).  


Istilah Adat dan Hukum Adat 

Memperhatikan pengertian hukum adat di atas dapat diketahui bahwa perbedaan “adat” dan “hukum adat”, merupakan konsepsi pemikiran para pemerhati/peneliti hukum adat/ahli hukum Barat. 

Pengertian “adat” dan “hukum adat” dibedakan berdasarkan sanksinya. Sanksi dalam “hukum adat” jelas/tegas, tidak demikian halnya dengan sanksi dalam “adat”.

Dalam kehidupan masyarakat hukum adat di Hindia Belanda (khususnya di Bali) kedua istilah itu dianggap sama.

Di Bali: awig-awig, perarem, geguat, kerta, pala kerta, dresta, catur dresta, sima, tata krama, tata loka cara, dll, pada awalnya dianggap sama. 


Pengertian Hukum Adat

Van Vollenhoven: hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan – peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat – ala kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.

Ter Haar: hukum adat lahir dari dan dipelihara oleh keputusan – keputusan, keputusan – keputusan para warga masyarkat hukum, terutama keputusan berwibawa dari kepala – kepala rakyat yang membantu pelaksanaan pernuatan hukum.

Soepomo: hukum adat adalah sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan – peraturan legislatif (unstatutory law), meliputi peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.

Sukanto: hukum adat adalah sebagai kompleks adat – adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, mempunyai akibat hukum.

Hasil seminar hukum adat dan pembinaan hukum nasional tanggal 15 s/d 17 Januari 1975 di Yogyakarta sebagai berikut : “hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tetulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang sana sini mengandung unsu agama.


Adat dan Hukum Adat Masih Perlukah pada Zaman Now?

Saya berpendapat masih tetap perlu diketahui, dimengerti, dipahami, dan diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat zaman now. Berikut beberapa alasannya.

Alasan Sosiologis: masih ada dan masih dihormati (ditaati) oleh masyarakatnya. Lebih-lebih lagi untuk di Bali. Dalam banyak hal, hukum adat Bali masih berlaku. Beberapa contoh, perkawinan, tanah, waris, dll.  

Alasan Yuridis: ada landasan yuridis yang jelas mengenai keberadaan hukum adat.

Alasan Filosofis: sejalan dengan pandangan hidup masyarakat dan Pancasila sebagai pandangan hukum bangsa Indonesia.


Alasan Yuridis

UUD 1945 (Sebelum Amendemen)

Pasal II Aturan Peralihan

Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini. 

Penjelasan UUD 1945

II. Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250  zelfberturende landschappen dan voksgemeeschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.  Daerah-daerah ini mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. 

Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara mengenai daerah-daerah itu  akan mengikuti hak-hak asal usul daerah tersebut. 


UUD NRI 1945 (Sesudah Amendemen)

Pasal 18B ayat (2)

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah  yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan ungang-undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan  perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indodnesia, yang diatur dalam undang-undang. 

Pasal 28I ayat (3)

(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. **)

Pasal 32

Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. ****)

Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. ****)


UU Nomor 1 Tahun 2023 Tentang KUHP

Pasal 1

(1) Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.

(2) Dalarn menetapkan adanya tindak pidana dilarang digunakan analogi.

Pasal 2

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.

(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.

(3) Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.


UU Nomor 1 Tahun 2023 Tentang KUHP

Pasal 1

(1) Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.

(2) Dalarn menetapkan adanya tindak pidana dilarang digunakan analogi.

Pasal 2

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.

(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.

(3) Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 64

Pidana terdiri atas:

a.  pidana pokok;

b. pidana tambahan; dan

c. pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang.


Pasal 65

(1) Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a terdiri atas:

a. pidana penjara;

b. pidana tutupan;

c. pidana pengawasan;

d. pidana denda; dan

e. pidana kerja sosial.

(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat atau ringannya pidana.


Pasal 66

(1) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf  b terdiri atas:

a. pencabutan hak tertentu;

b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;

c. pengumuman putusan hakim;

d. pembayaran ganti rugi;

e. pencabutan izin tertentu; dan

f. pemenuhan kewajiban adat setempat.


(2) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dapat dikenakan dalam hal  penjatuhan pidana pokok saja tidak cukup untuk mencapai tujuan pemidanaan.

(3) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhkan 1 (satu) jenis atau lebih.

(4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya.

(5) Pidana tambahan bagi anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana dalam perkara koneksitas dikenakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Tentara Nasional Indonesia.


Pasal 96

(1) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat diutamakan jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).

(2) Pemenuhan kewajiban adat setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda kategori II.

Pasal 79

(l) Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan:

a. kategori I, Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah);

b. kategori II, Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);

c. kategori III, Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);

d. kategori IV, Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);

e. kategori V, Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

f. kategori VI, Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);

g. kategori VII, Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan

h. kategori VIII, Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

(2) Dalam hal terjadi perubahan nilai uang, ketentuan besarnya pidana denda ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


Strategi Belajar/Memahami Hukum Adat

Van Vollenhoven[1] dalam orasinya pada tanggal. 2 Oktober 1901 mengemukakan bahwa untuk mengetahui dan memahami hokum adat, “….maka adalah terutama perlu diselidiki buat waktu apabilapun dan di daerah manapun juga bisa, sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu, hidup sehari-hari. Paling terasa gunanya mempelajari masyarakat adat itu, jikalau kita hendak memahami segala hubungan hukum dan tindakan hukum dibidang perkawinan menurut adat, dibidang pertalian sanak (keluarga) menurut adat dan dibidang waris menurut adat” (Soepomo, 1977: 41; Bushar Muhammad, 1994: 21). 

[1]  Seperti halnya V.E. Korn, Van Vollenoven (gurunya Ter Haar), juga seorang  intelektual berkebangsaan Belanda, yang pernah mengadakan penelitian kepustakaan tentang hukum adat di Indonesia, dan berhasil menjadikan hukum adat sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri di Universitas Leiden, Belanda. Oleh karena itu, Van Vollenoven dijuluki “Bapak Hukum Adat Indonesia”. 


Istilah Adat dan Hukum Adat Bali

Ada dua jenis masyarakat hukum adat yang paling dikenal di Bali, yaitu: “desa adat” dan “subak”. 

Telah dikemukakan bahwa dalam kehidupan masyarakat hukum adat di Bali (desa adat dan subak) pada awalnya istilah “adat” dan “hukum adat” dianggap sama, walaupun disebut dengan berbagai istilah, seperti: awig-awig, perarem, geguat, kerta, pala kerta, dresta, catur dresta, sima, tata krama, tata loka cara, dll, pada awalnya dianggap sama. 

Sejalan dengan perkembangan zaman, istilah-istilah itu mengalami perubahan, semakin mengerucut menjadi “hukum adat Bali”, “awig-awig” dan “perarem” . Muncul juga istilah “desa mawacara” dan “Bali mawacara”. 

Perubahan lainnya: “adat” dan “hukum adat Bali” pada akhirnya juga dibedakan berdasarkan sanksi yang menyertai mengikuti konsepsi pemikiran para pemerhati/peneliti hukum adat/ahli hukum Barat. Sanksi dalam “hukum adat Bali” jelas/tegas, tidak demikian halnya dengan sanksi dalam “adat Bali”. 

Ketentuan “adat” dan “hukum adat Bali” yang sebelumnya lebih banyak tidak tertulis, sekarang diusahakan lebih banyak tertulis. 



Dosen pengajar:

Prof. Dr. Wayan P. Windia





Photo by Tima Miroshnichenko

Share:

Senin, 13 November 2023

Hukum Adat [11-11-23]

Hukum adat merujuk pada seperangkat norma-norma, nilai-nilai, dan aturan-aturan yang diterapkan dan dihormati oleh suatu masyarakat atau kelompok tertentu. Hukum adat umumnya tumbuh dan berkembang dalam suatu komunitas sepanjang waktu dan mencerminkan nilai-nilai, tradisi, dan norma-norma budaya masyarakat tersebut.

Berbeda dengan hukum positif atau hukum formal yang dihasilkan melalui proses legislatif atau sistem perundang-undangan tertentu, hukum adat bersifat tidak tertulis dan sering kali ditransmisikan secara lisan atau melalui praktek-praktek tradisional. Hukum adat cenderung mencakup aspek-aspek kehidupan sehari-hari, seperti pernikahan, warisan, pertanian, dan hubungan sosial.

Setiap kelompok etnis atau komunitas memiliki hukum adatnya sendiri yang unik dan berbeda-beda. Meskipun demikian, hukum adat sering kali menjadi bagian integral dari identitas budaya suatu kelompok dan dapat berperan dalam menjaga keseimbangan sosial dan harmoni di dalam masyarakat tersebut.

Penting untuk dicatat bahwa di banyak negara, hukum adat dapat berdampingan atau bersentuhan dengan hukum nasional atau hukum formal. Pada beberapa kasus, hukum adat diakui oleh negara dan diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional, sedangkan pada kasus lain, mungkin terdapat ketegangan atau konflik antara hukum adat dan hukum nasional.

Hukum adat memiliki ciri-ciri, sifat, dan corak tertentu yang membedakannya dari hukum formal atau hukum positif. Namun, perlu diingat bahwa ciri-ciri ini dapat bervariasi di antara masyarakat adat yang berbeda. Berikut adalah beberapa ciri umum hukum adat:

  1. Tidak Tertulis: Hukum adat umumnya tidak tertulis. Aturan dan norma-norma ini sering kali disampaikan melalui tradisi lisan, ritual, dan praktik-praktik budaya. Ketergantungan pada lisanitas dapat membuat hukum adat lebih fleksibel dan dapat beradaptasi dengan perubahan dalam masyarakat.
  2. Tradisional dan Kultural: Hukum adat mencerminkan nilai-nilai, norma-norma, dan tradisi budaya suatu kelompok masyarakat. Ini mencakup aspek-aspek seperti adat istiadat, upacara keagamaan, dan sistem nilai yang dipegang oleh komunitas tersebut.
  3. Bertumpu pada Komunitas: Hukum adat lebih fokus pada kebutuhan dan nilai-nilai komunitas daripada pada individu. Prinsip-prinsip kebersamaan, solidaritas, dan keseimbangan sosial sering kali menjadi dasar hukum adat.
  4. Elastis dan Dinamis: Hukum adat cenderung bersifat elastis dan dapat beradaptasi dengan perubahan dalam masyarakat. Ini bisa tercermin dalam proses-proses konsultasi atau musyawarah yang melibatkan tokoh-tokoh adat atau komunitas dalam membuat keputusan atau menyelesaikan konflik.
  5. Penyelenggaraan Oleh Otoritas Adat: Penegakan hukum adat sering kali dilakukan oleh otoritas adat atau tokoh-tokoh yang dihormati dalam masyarakat. Mereka dapat menjadi mediator dalam menyelesaikan konflik, menentukan sanksi, atau menjalankan fungsi-fungsi hukum adat lainnya.
  6. Melibatkan Ritual dan Simbolisme: Hukum adat sering kali terkait erat dengan ritual dan simbolisme budaya. Keputusan hukum adat dapat diiringi oleh upacara-upacara tertentu atau tindakan-tindakan simbolis yang memiliki makna dalam konteks budaya masyarakat tersebut.
  7. Pengaturan Urusan Internal: Hukum adat cenderung mengatur urusan internal suatu komunitas, seperti pernikahan, warisan, dan konflik interpersonal. Hukum adat mungkin kurang terlibat dalam pengaturan urusan eksternal yang berkaitan dengan negara atau pihak ketiga.

Perlu dicatat bahwa dengan adanya globalisasi dan interaksi antarbudaya, beberapa masyarakat adat dapat mengalami perubahan dalam struktur hukum adat mereka. Dalam beberapa kasus, hukum adat dapat berinteraksi atau bahkan bertentangan dengan hukum nasional atau sistem hukum lainnya.





Di Indonesia, hukum adat diatur oleh beberapa peraturan perundang-undangan yang mencerminkan pengakuan terhadap keberagaman budaya dan masyarakat adat di negara ini. Beberapa aturan yang mengatur hukum adat di Indonesia antara lain:

  1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM): Pasal 18 UU HAM mengakui dan menjamin hak masyarakat adat untuk mempertahankan dan mengembangkan budaya mereka. Hal ini mencakup hak atas tanah adat dan sumber daya alam yang dimanfaatkan secara tradisional.
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Agraria): UU Agraria mengakui hak masyarakat adat atas tanah adat mereka. Meskipun demikian, implementasi hak-hak ini sering kali kompleks dan dapat melibatkan konflik dengan regulasi nasional terkait penggunaan lahan.
  3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda): UU Pemda memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengakomodasi keberagaman budaya dan hukum adat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah.
  4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan): UU Kehutanan mengakui hak masyarakat adat atas hutan adat mereka dan memberikan landasan hukum untuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
  5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda): Pasal 251 UU Pemda memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk melibatkan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya.
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pendaftaran Tanah (PP Pendaftaran Tanah): PP Pendaftaran Tanah mengatur tentang proses pendaftaran tanah masyarakat adat, yang dapat menjadi langkah untuk mengakui dan melindungi hak tanah masyarakat adat.
  7. Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 tentang Pengakuan Hukum dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (Keppres 41/2004): Keppres ini memberikan dasar hukum bagi pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat dan memberikan landasan untuk perlindungan dan pembinaan masyarakat hukum adat.
  8. Meskipun ada upaya untuk mengakui hak-hak masyarakat adat dalam perundang-undangan, implementasinya belum selalu berjalan lancar dan sering kali dihadapi oleh berbagai tantangan, termasuk konflik kepentingan dengan pihak lain serta belum optimalnya mekanisme perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Foto by: olia danilevich
Share:
Jasaview.id

Arsip Blog

https://www.tiket.com/?twh=28335430

https://www.canva.com/join/tgg-czw-mlw

https://www.easycash.com/?twh=28335430

https://www.tokopedia.com/?twh=28335430

https://scholar.google.com/citations?user=sSo15lEAAAAJ
https://www.mendeley.com/?interaction_required=true
https://www.turnitin.com/
https://sinta.kemdikbud.go.id/
Web Hosting
https://unr.siakadcloud.com/gate/login