Media Belajar Bersama ~ Gak ada yang lebih keren dari orang yang mengejar impiannya
Tampilkan postingan dengan label semester2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label semester2. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 17 Juni 2023

Hukum dan Globalisasi [17-06-23]

Hukum dan globalisasi adalah dua konsep yang saling terkait dalam konteks hubungan internasional dan perkembangan dunia modern. Globalisasi mengacu pada proses integrasi ekonomi, politik, sosial, dan budaya antara negara-negara di seluruh dunia. Hal ini dicapai melalui pertukaran barang, layanan, ide, dan informasi yang lebih bebas dan cepat, serta mobilitas yang lebih tinggi dari orang-orang di berbagai negara.

Hukum, di sisi lain, adalah seperangkat aturan dan prinsip yang mengatur perilaku manusia dalam masyarakat. Hukum dapat berlaku di tingkat nasional dan internasional, dan peran hukum dalam konteks globalisasi adalah mengatur dan mengelola hubungan antara negara-negara serta individu dan entitas hukum di seluruh dunia.


Berikut adalah beberapa aspek penting dalam hubungan antara hukum dan globalisasi:

Hukum Internasional: Globalisasi telah mendorong perkembangan hukum internasional yang lebih kompleks dan meluas. Hukum internasional terdiri dari perjanjian bilateral dan multilateral antara negara-negara, serta prinsip-prinsip umum yang diakui secara internasional. Hukum internasional mencakup berbagai bidang, termasuk perdagangan internasional, hak asasi manusia, lingkungan, dan kejahatan internasional.




Organisasi Internasional: Globalisasi telah memicu pertumbuhan organisasi internasional seperti PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), IMF (Dana Moneter Internasional), dan organisasi regional seperti Uni Eropa. Organisasi-organisasi ini menciptakan kerangka hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara dan mengelola masalah-masalah global seperti perdagangan, keamanan, dan pengembangan.

Harmonisasi Hukum: Dalam rangka memfasilitasi perdagangan internasional dan integrasi ekonomi, globalisasi mendorong harmonisasi hukum antara negara-negara. Misalnya, pengembangan perjanjian perdagangan bebas dan organisasi perdagangan seperti WTO membantu mengurangi hambatan perdagangan dan menciptakan kerangka hukum yang serupa di antara anggota-anggotanya.

Perlindungan Hak Asasi Manusia: Globalisasi telah memperkuat kesadaran akan hak asasi manusia dan mempromosikan perlindungan hak asasi manusia di tingkat internasional. Ada berbagai perjanjian dan konvensi internasional yang bertujuan untuk melindungi hak-hak dasar individu di seluruh dunia.

Tantangan Hukum: Globalisasi juga menimbulkan tantangan hukum baru. Misalnya, mobilitas yang tinggi dari orang-orang dan modal melintasi batas-batas nasional dapat mempersulit penerapan hukum nasional. Selain itu, munculnya kejahatan transnasional seperti perdagangan manusia, terorisme, dan pencucian uang mengharuskan kerjasama hukum internasional


Photo by Luriko Yamaguchi

Share:

Jumat, 16 Juni 2023

Hukum dan Globalisasi [16-06-23]

Globalisasi hukum kadang kala dipahami pula sebagai penyesuaian hukum-hukum nasional suatu negara bangsa sebagai dampak dari perkembangan perekonomian global misalnya.

Globalisasi hukum akan menyebabkan peraturan-peraturan negara-negara berkembang mengenai investasi, perdagangan, jasa-jasa dan bidang-bidang ekonomi lainnya mendekati negara-negara maju. Namun tidak ada jaminan peraturan-peraturan tersebut memberikan hasil yang sama disemua tempat.

Dosen Pengajar:

Dr. Dewi Bunga, S.H., M.H. CLA.



Apa manfaat globalisasi di bidang hukum?

Jawaban: Dampak positif globalisasi bidang hukum : Semakin menguatnya supremasi hukum, demokratisasi, dan tuntutan terhadap dilaksanakannya hak-hak asasi manusia. Menguatnya regulasi
hukum dan pembuatan peraturan perundang-undangan yang memihak dan bermanfaat untuk kepentingan rakyat banyak.


Share:

Jumat, 09 Juni 2023

Sosialisasi Hukum [9-06-23]

S
osiologi dan ilmu hukum mempunyai kaitan. jika ilmu hukum hanya memandang hukum dari segi normatif saja yaitu perundang-undangan atau perntah penguasa. maka sosiologi hukum memandang hukum adalah gejala sosial yang ada di dalam masyarakat.

Apa tujuan mempelajari sosiologi hukum di Fakultas hukum?
Sosiologi Hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai praktik-praktik hukum baik oleh para penegak hukum maupun masyarakat.

Sosiologi hukum termasuk dalam ilmu hukum. Karena dalam objek sosiologi hukum telah dijelaskan bahwa yang melahirkan sosiologi hukum bukanlah kalangan sosiologi melainkan kalangan ilmu hukum. Yakni, para ahli yang menguasai bidang sosiologi berkolaborasi dengan ahli di bidang hukum.

Kegunaan Sosiologi Hukum
Memberikan kemampuan pemahaman hukum dalam konteks sosial. Memberikan kemampuan untuk menganalisis efektifitas hukum dalam masyarakat baik sebagai sarana pengendalian sosial, saran pengubah masyarakat, dan sarana untuk mengatur interaksi sosial tertentu atau yang diharapkan.

Ruang Lingkup, Objek dan Karakteristik Sosiologi Hukum
Pola-pola perilaku hukum warga masyarakat. 
Hukum dan pola-pola perilaku sebagai ciptaan dan wujud dari kelompok sosial.
Hubungan timbal balik antara perubahan dalam hukum dan perubahan sosial serta budaya.

Weber disebut bapak sosiologi hukum modern, yang bekerja pada hukum secara ekstensif menggunakan metode sosiologis.

ilmu yang mempelajari fenomena hukum yang bertujuan memberikan penjelasan terhadap praktik "hukum"






Soerjono Soekanto Sosiologi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisa atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala lainnya. Sosiologi Hukum (sosiologi of law) adalah pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyarakat dalam konteks sosial.


Gambar oleh:
Photo by Armin Rimoldi









Share:

Sabtu, 27 Mei 2023

Sosiologi Hukum [26-05-23]

Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari perilaku hukum dari warga masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan gejala-gejala sosial lainnya (Soekanto, 1982).


Sosiologi hukum mengkaji hukum dalam wujudnya atau Government Social Control. Dalam hal ini, sosiologi mengkaji seperangkat kaidah khusus yang berlaku serta dibutuhkan, guna menegakkan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.




Pentingnya mempelajari Sosiologi Hukum adalah karena hukum secara sosiologis adalah penting dan merupakan suatu lembaga kemasyarakatan (social institution) yang merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia.


Weber disebut bapak sosiologi hukum modern, yang bekerja pada hukum secara ekstensif menggunakan metode sosiologis.


Sedangkan sosiologi hukum memandang hukum sebagai kenyataan sosial. Sosiologi hukum melihat apakah kenyataan di masyarakat benar-benar sesuai dengan apa yang dikatakan perundang-undangan. Kedua, positivisme hukum memandang hukum sebagai sesuatu yang otonom/mandiri.


Kegunaan Sosiologi Hukum adalah memberikan kemampuan pemahaman hukum dalam konteks sosial. Memberikan kemampuan untuk menganalisis efektifitas hukum dalam masyarakat baik sebagai sarana pengendalian sosial, saran pengubah masyarakat, dan sarana untuk mengatur interaksi sosial tertentu atau yang diharapkan.


Apa perbedaan ilmu hukum dan sosiologi hukum?

Ilmu hukum adalah studi lapangan normatif, sedangkan sosiologi hukum merupakan studi atau kajian yang bersifat empirik. Sehingga sosiologi hukum yang memberikan sumbangsi terhadap ilmu hukum dapat dkatakan pendekatan empirik terhadap hukum.


Sosiologi hukum untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh seseorang berkebangsaan Italia yang bernama Anzilotti pada tahun 1882. Sosiologi hukum pada hakikatnya lahir dari hasil-hasil pemikiran para ahli pemikir baik di bidang filsafat (hukum), ilmu hukum, maupun sosiologi (hukum).


Ruang Lingkup Sosiologi mencakup pengetahuan dasar pengkajian kemasyarakatan yang meliputi: 1. Kedudukan dan peran sosial individu dalam keluarga, kelompok sosial, dan masyarakat. 2. Nilai-nilai dan norma-norma sosial yang mendasari atau memengaruhi sikap dan perilaku anggota masyarakat dalam melakukan hubungan sosial.

Photo by Pixabay
Share:

Jumat, 28 April 2023

Hukum dan Konstitusi [29-04-23]

Ujaran Kebencian (Hate speech) adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku Pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut.

Ujaran kebencian biasanya menyangkut ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain. Ujaran kebencian dapat berupa penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, menghasut, menyebarkan berita bohong.

Dalam KUHP, ujaran kebencian berupa penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong. Warga yang merasa menjadi korban dapat melaporkan hal tersebut ke kepolisian.


Ketentuan UU ITE terkait ujaran kebencian, permusuhan dan SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan), terdapat pada Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2). Pasal 28 ayat (2) berbunyi: 

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. 

Pasal 28 ayat (2) ini tidak bisa dilepaskan dari Pasal 45A ayat (2) UU ITE yang mengatur sanksi pidananya. Terkait delik ujaran kebencian, UU ITE memang membagi dua bagian ketentuan. Pasal terkait perbuatan yang dilarang di satu bagian, dan ketentuan tentang sanksi pidana di bagian lainnya. 

Pasal 45A ayat (2) UU ITE berbunyi: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Dosen pengajar: Dr. Wayan Santoso, S.H., M.H.






Ketentuan yang terdapat pada Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU ITE dinyatakan dicabut oleh UU KUHP yang baru. Pasal itu kemudian diganti dan direformulasi menjadi Pasal 243 ayat (1) jo ayat (2) UU KUHP baru yang berbunyi: Pasal 243 ayat (1): 

“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi pernyataan perasaan permusuhan dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, terhadap satu atau beberapa golongan atau kelompok penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik yang berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.


Kedua, KUHP yang baru juga menetapkan pidana tambahan sebagaimana diatur pada Pasal 243 ayat (2) KUHP baru yang berbunyi: “Jika setiap orang sebagai mana dimaksud pada ayat (1) melakukan tindak pidana tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf f”. Pasal 86 huruf f mengatur pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu berupa pencabutan hak untuk menjalankan profesi tertentu.


Selain menerapkan pidana tambahan pada Pasal 243 ayat (2) UU KUHP juga menerapkan hukuman yang lebih rendah dibanding UU ITE. Sanksi yang semula berupa pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar dalam UU ITE, menjadi pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV dalam UU KUHP baru. Selain itu, frasa "terlihat oleh umum", "terdengar oleh umum", “…dengan sarana teknologi informasi, yang berisi pernyataan perasaan permusuhan dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum” pada Pasal 243 ayat (1) KUHP baru juga menekankan adanya unsur "public virtual".  Di samping itu harus dibuktikan adanya maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dari pelakunya. Hal ini penting, terutama untuk membedakan konten mana yang sifatnya sekadar komunikasi online antar individu, yang seringkali disebut “japri” dalam bentuk direct message, yang memang tidak dimaksudkan untuk diketahui umum, dan tindakan mana yang merupakan komunikasi publik dengan maksud untuk diketahui khalayak (public virtual). Jika yang dilakukan adalah hal terakhir, tentu dapat dikualifikasikan bahwa postingannya memang dimaksudkan untuk diketahui umum, atau sengaja disebarkan untuk konsumsi publik.


Photo by Pixabay


Share:

Hukum dan Konstitusi [28-04-23]

K. C. Wheare: Konstitusi adalah keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara yang berupa kumpulan peraturan yang membentuk dan mengatur/memerintah dalam pemerintahan suatu negara. Herman Heller: konstitusi lebih luas daripada UUD.


Hubungan Konstitusi dengan Hukum

Konstitusi merupakan sebuah peraturan hukum yang mendasar, yang mengatur tugas-tugas dan organisasi kekuasaan negara serta mengatur hubungan hukum negara terhadap masingmasing warga negara.


Hukum Konstitusi adalah hukum cabang atau spesialisasi Hukum Tata Negara yang mempelajari konstitusi sebagai objek material dan hukum dasar sebagai objek formal termasuk undang-undang dasar sebagai hukum dasar tertulis yang menjadi dasar hukum tertulis tertinggi dari tata hukum nasional.


Tujuan konstitusi sebagai hukum tertinggi adalah untuk mencapai keadilan, ketertiban, dan perwujudan nilai ideal seperti kemerdekaan, kebebasan, kesejahteraan, serta kemakmuran bersama.


Kedudukan konstitusi tentunya berada pada puncak ujung tertinggi yang melandasi pembentukan aturan hukum lainnya. Sistem hukum tersebut tentunya diterima oleh banyak orang dan mengikat sehingga memiliki otoritas hukum. Akan tetapi, konstitusi tidak selalu dimaknai sebagai sebuah dokumen hukum dalam sistem hukum.


Konstitusi merupakan syarat mutlak keberlangsungan suatu negara karena konstitusi memuat sendi-sendi untuk menegakkan bangunan negara.







Apa saja fungsi konstitusi sebagai hukum dasar suatu negara?

1. Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara. 2. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antarorgan negara. 3. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antarorgan negara dengan warga negara. 4. Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara.


Secara umum, konstitusi dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis.


Dalam praktek ketatanegaraan Republik Indonesia konstitusi sama dengan pengertian undang-undang dasar. Hal ini terbukti dengan disebutkannya istilah konstitusi Republik Indonesia Serikat bagi undang-undang dasar Republik Serikat ( Kaelan, 2000:99).


Konstitusi suatu negara pada hakekatnya merupakan hukum dasar tertinggi yang memuat hal-hal mengenai penyelenggaraan negara, karenanya suatu konstitusi harus memiliki sifat yang lebih stabil dari pada produk hukum lainnya.


Contoh Konstitusi Tertulis

Di Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) merupakan konstitusi tertulis dan diakui sebagai hukum tertinggi NKRI (the supreme law of the land).


Terdapat empat contoh konstitusi tidak tertulis di Indonesia, yaitu pidato kenegaraan, musyawarah, pidato presiden di awal tahun dan adat istiadat.


Foto oleh Andrea Piacquadio

Share:

Jumat, 14 April 2023

Hukum Hak Kekayaan Intelektual [14-04-23]

Musik adalah unik karena setiap lagu memiliki dua hak cipta. Salah satunya adalah hak cipta dalam lagu, yaitu komposisi musik, yang terdiri dari lirik dan musik yang mendasari (beat, instrumental).

Dalam UU Nomor 28 Tahun 2014, lagu dan musik termasuk dalam ciptaan yang dilindungi hak ciptanya.

Hak Cipta lagu adalah hak eksklusif Pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu lagu dapat didengar.

Menurut Pasal 72 Undang-Undang Hak Cipta, bagi mereka yang dengan sengaja atau tanpa hak melanggar Hak Cipta orang lain dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling .

Bagaimana cara mendapatkan hak cipta lagu?

Kunjungi situs web https://e-hakcipta.dgip.go.id. Lakukan registrasi akun dengan klik "Create your account". Isi formulir “Pendaftaran User Hak Cipta” yang tersedia dengan data diri seperti, nama lengkap, alamat e-mail, password akun, nomor KTP, dan sebagainya.

Pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah.

Perlindungan Hak Cipta : Seumur Hidup Pencipta + 70 Tahun. Program Komputer : 50 tahun Sejak pertama kali dipublikasikan. Pelaku : 50 tahun sejak pertama kali di pertunjukkan.

Beberapa contoh pelanggaran hak cipta atau haki, misalnya melakukan pembajakan film, buku, atau lagu, membuat pelaku mendapatkan untung dari penjualannya. Bahkan secara tidak sadar banyak sekali public atau masyarakat yang membatu hal ini.

Tidak ada Hak Cipta atas hasil karya berupa:peraturan perundang-undangan; pidato kenegaraan atau pidato pejabat pemerintah; putusan pengadilan atau penetapan hakim; dan. kitab suci atau simbol keagamaan.


Pelindungan Hak Cipta atas Ciptaan di atas berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya.

Dosen pengapu: Dr. Karyoto, S.H., M.H., M.M.


Foto oleh lil artsy

Share:

Jumat, 07 April 2023

Hukum Hak Kekayaan Intelektual [08-04-23]

Kekayaan intelektual lahir dan tumbuh dari kemampuan intelektual manusia. Karya yang lahir dari kemampuan intelektual manusia tersebut berupa karya-karya dalam bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra


Hak kekayaan intelektual (HKI) merupakan hak-hak secara hukum yang berhubungan dengan hasil penemuan dan kreativitas seseorang atau suatu kelompok. Hal ini berhubungan dengan perlindungan permasalahan reputasi dalam bidang komersial dan juga tindakan jasa di bidang komersial.


Kekayaan intelektual lahir dan tumbuh dari kemampuan intelektual manusia. Karya yang lahir dari kemampuan intelektual manusia tersebut berupa karya-karya dalam bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra.


Kekayaan intelektual mendapatkan perlindungan hukum atas kekayaan yang dikenal dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Dalam UU yang telah disahkan oleh DPR pada 21 Maret 1997, hak atas kekayaan intelektual secara hukum adalah hak-hak yang berhubungan dengan permasalahan hasil penemuan dan kreativitas seseorang atau beberapa orang yang berhubungan dengan perlindungan permasalahan reputasi dalam bidang komersial dan tindakan atau jasa dalam bidang komersial.


Dasar hukum hak atas kekayaan intelektual tertuang dalam berbagai undang-undang dan Keputusan Presiden, di antaranya yaitu:

- UU No.7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization

- UU No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

- UU No.12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta

- UU No.14 Tahun 1997 tentang Merek

- UU No.13 Tahun 1997 tentang Hak Paten

- Keputusan Presiden RI No.15 Tahun 1997 tentang Pengesahan Paris Convention for The Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization

- Keputusan Presiden RI No.17 Tahun 1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty

- Keputusan Presiden RI No.18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention for The Protection of Literary and Artistic Works

- Keputusan Presiden RI No.19 Tahun 1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty

Dosen pengapu: Dr. Karyoto, S.H., M.H., M.M.





Dengan adanya peraturan yang menjadi dasar hukum hak atas kekayaan intelektual, maka setiap orang atau kelompok atau badan yang mempunyai hak atas pemikiran inovatif atas suatu buatan maupun produk, bisa di dapat dengan mendaftarkannya kepada Direktorat Jenderal Hak-Hak Atas Kekayaan Intelektual, unit hukum dan perundang-undangan Republik Indonesia.


Hak kekayaan intelektual merupakan cara untuk melindungi kekayaan intelektual dengan menggunakan instrumen hukum, di antaranya yaitu hak cipta, paten, merek dan indikasi geografis, rahasia dagang, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, dan perlindungan varietas tanaman.


Perlindungan hak atas kekayaan intelektual bertujuan untuk memberi hukum mengenai hubungan antara kekayaan, pencipta, desainer, pemilik, perantara yang menggunakannya, pemanfaatan yang diterima dari pemanfaatan HKI dalam jangka waktu tertentu.


Sebagai bagian penting dalam penghargaan suatu karya ilmu pengetahuan, seni maupun sastra, setiap individu atau kelompok perlu memahami hak atas kekayaan intelektual untuk menimbulkan kesadaran akan pentingnya daya kreasi dan inovasi intelektual sebagai kemampuan yang perlu diraih oleh setiap insan manusia.

Foto oleh Tobit Nazar Nieto Hernandez

Share:

Jumat, 31 Maret 2023

Lembaga Dan Pranata Hukum [1-04-23]

 

Sejak Adam dan Hawa mempunyai keturunan, dan keturunannya itu melipatganda, maka muka bumi ini mulai dipadati oleh manusia. Sebagai mahluk yang bersifat sosial, manusia hidup berkelompok pada daerah-daerah yang subur, berdasarkan keturunan, ras, etnisitas, agama, ataupun matapencaharian. Sepanjang masing-masing pihak yang hidup bersama tersebut dapat saling tenggangrasa (toleransi) dan sumber-sumber pemenuhan kebutuhan hidup dapat mencukupi, sebanyak apapun manusia yang hidup bersama tidaklah menjadi masalah, Masalah menjadi lain, kalau masing-masing yang hidup mendiami daerah-daerah tersebut mempunyai kepentingan dan kebutuhan yang sama, sementara hal yang menjadi pemenuh kebutuhan atau kepentingan tersebut terbatas adanya, mereka akan terlibat persaingan, pertikaian, bahkan harus berperang untuk memperebutkannya.

Thomas Hobbes memberikan ilustrasi sederhana mengenai hal ini, jika ada dua orang membutuhkan hal yang sama, akan tetapi hanya satu orang yang akan memperolehnya, maka mereka akan saling bermusuhan –masing-masing pihak akan menganggu dan menindas pihak lain untuk mencapai tujuannya, yaitu kelangsungan hidupnya. Sementara itu, pihak yang tertindas akan membalasnya sebab hal itu menyangkut hidup dan mati. Maka, perang tidak dapat dihindarkan. Menyadari bahwa hidup bersama tanpa aturan akan bisa menjadi boomerang yang memusnahkan kelangsungan hidup manusia, maka lahirlah pranata politik.

Dosen pengajar :
Dr. Karyoto, S.H., M.H., M.M.





Kornblum mendefinisikan pranata politik sebagai seperangkat norma dan status yang mengkhususkan diri pada pelaksanaan kekuasaan dan wewenang, termasuk kewenangan menggunakan paksaan fisik. Di masyarakat manapun, kalau tidak ada pranata politik yang diberi kewenangan untuk melaksanakan hukuman atau paksaan fisik, maka negara akan hilang dan yang terjadi adalah anarkhi.

Disamping mengatur siapa yang berwenang untuk menggunakan paksaan fisik, pranata politik juga berfungsi untuk mencapai kepentingan bersama dari anggota-anggota kelompok/masyarakat.

Sampai di sini, akhirnya bisa disimpulkan bahwa kebutuhan akan pranata politik, adalah karena kelompok-kelompok dalam masyarakat memerlukan adanya asosiasi atau kelompok tertentu yang dapat menguasai kelompok-kelompok lainnya, karena kepada kelompok atau asosiasi tersebut diberikan wewenang untuk menggunakan hukuman dan paksaan fisik karena didukung oleh adanya aparat (tentara, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan). Asosiasi dan nilai-nilai yang mendasarinya tersebut kemudian dilembagakan (institutionalized) dan secara riil diterima sebagai pola-pola perilaku dalam masyarakat, demi kelanggengan masyarakat. Asosiasi itu kemudian disebut negara, yang dilengkapi dengan aparat pemerintahan, nilai-nilai bersama yang dijunjung tinggi serta diwujudkan dalam konstitusi, berupa undang-undang dasar, undang-undang, peraturan pemerintah, dan seterusnya.

Pengertian dan ciri pranata politik Dalam berbagai literature sosiologi, terdapat berbagai istilah yang digunakan untuk menyebut pranata politik. McIver menyebutnya sebagai “negara”, Zanden menyebutnya sebagai “perilaku politik”, sedangkan Gillin dan Gillin menyebutnya institusi politik. Apapun istilahnya, pranata yang dimaksud mempunyai dua ciri utama, yaitu: (1) mempunyai kewenangan untuk menggunakan kekuatan fisik, dan (2) mampu memenuhi kebutuhan hidup sendiri (self sufficient).

Berdasarkan hal tersebut, pranata politik akan menyangkut masalah negara, pemerintahan, kekuasaan, partai politik, kebijakan, dan sebagainya. Hanya perlu ditekankan, istilah negara tidak sama dengan pemerintahan. Pemerintahan adalah aparatnya negara yang melaksanakan fungsi-fungsi dan kekuasaan negara. Jadi, pemerintahan hanyalah salah satu unsur negara.

Karakteristik pranata politik adalah: (1) adanya suatu komunitas manusia yang secara sosial bersatu atas dasar nilai-nilai yang disepakati bersama, (2) adanya asosiasi politik, yaitu pemerintahan yang aktif, (3) asosiasi tersebut melaksanakan fungsi-fungsi untuk kepentingan umum, dan (4) asosiasi tersebut diberi kewenangan dalam luas jangkauan dalam territorial tertentu.

Fungsi pranata politik
James W. Vender Zanden menyebutkan bahwa pranata politik di masyarakat manapun pada dasarnya memiliki empat fungsi, yaitu:
a. Pemaksaan norma (enforcement norms)
b. Merencanakan dan mengarahkan
c. Menengahi pertentangan kepentingan (arbritasi)
d. Melindungi masyarakat dari serangan musuh yang berasal dari luar masyarakatnya, baik dengan diplomasi maupun kekerasan (perang).

Dalam rumusan lain, pranata politik berfungsi:
a. Memelihara ketertiban di dalam (internal order)
b. Menjaga keamanan dari luar (external security)
c. Melaksanakan kesejahteraan umum (general welfare)

Di samping itu, terdapat fungsi laten lembaga politik, yaitu:
a. Menciptakan stratifikasi politik, yakni munculnya penguasa dan yang dikuasai. Bahkan dalam suatu masyarakat sering muncul jenjang atau rentang stratifikasi politik yang jauh, yakni penguasa absolut di satu pihak dan tuna kuasa (power less) di pihak lain.
b. Partai politik sebagai social elevator (saluran mobilitas sosial vertikal), misalnya yang terjadi pada para pemimpin partai pemenang pemilihan umum (pemilu).


Foto oleh Zen Chung
Share:

Lembaga dan Pranata Hukum [31-03-23]

Norma dan hukum merupakan posisi tertinggi dalam penegakkan hukum karena setiap penegakkannya berdasarkan UUD 1945, Pancasila, dan Norma hukum.

Norma memiliki kedudukan yang tinggi dan penting dalam kehidupan masyarakat karena norma berasal dari nilai-nilai aturan yang berlaku di dalam masyarakat.

Hukum pada dasarnya adalah bagian dari norma yaitu norma hukum.

Berikut penjelasan dan contoh dari empat tingkatan norma yang berlaku, yaitu:
1. Norma cara (usage)
2. Norma tata kelakuan (mores)
3. Norma adat istiadat (customs)
4. Norma kebiasaan (folksway)

Dr. Karyoto, S.H., M.H., M.M.





Contoh norma hukum adalah hukum yang memberikan kekuasaan, tugas atau melarang tindakan tertentu. Juga, kode hukum, peraturan peradilan, sistem hukum dan semua norma yang mengatur masyarakat dan yang berasal dari otoritas hukum.

Indonesia adalah negara hukum bermaksud bahwa walaupun rakyat memegang kekuasaan tertinggi terhadap negara, namun tetap dibatasi oleh adanya hukum. Indoneisa adalah suatu negara yang memiliki dua sistem kedaulatan, yaitu sebagai negara kedaulatan rakyat dan negara kedaulatan hukum.

Karna norma hukum merupakan aturan hukum yang harus dilaksanakan demi keamanan dan kenyamanan orang orang/masyarakat daerah itu sendiri.

Dimana dengan adanya norma yang berlaku dalam lingkungan, setiap orang akan memiliki kesadaran atas batasan dari suatu perbuatan yang boleh dilakukan maupun hal-hal yang tidak boleh dilakukan.

Macam norma:
1. Norma Agama.
2. Norma Kesusilaan.
3. Norma Kesopanan.
4. Norma Hukum.

Norma hukum secara umum adalah ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat. Norma hukum tersebut kemudian dipakai sebagai panduan, tatanan, dan tingkah laku yang sesuai aturan atau kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur untuk penilaian atau perbandingan.

Norma hukum pun berfungsi untuk melarang warga negara melakukan sikap atau tindakan. Jika warga negara melakukan hal yang dilarang oleh norma hukum tersebut, maka akan dikenai sanksi atau hukuman.

Norma hukum tersebut penting untuk disepakati, karena dibahas tentang apa yang boleh dilakukan dan apa saja yang tidak boleh dilakukan. Berikut adalah tujuan keberadaan norma hukum dalam satu pemerintahan atau negara: Sebagai suatu pedoman atau aturan hidup untuk seluruh masyarakat di wilayah tertentu.

Norma adalah suatu pedoman, kaedah, aturan, atau aturan hidup yang lahir dari kebiasaan suatu masyarakat daerah tertentu yang harus diaati. Sedangkan hukum adalah serangkaian aturan-aturan yang memuat petunjuk hidup yang dibuat oleh pejabat.
Terdapat dua jenis norma hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, kita mengenal norma hukum tertulis dan norma hukum tidak tertulis.

"Norma hukum bersifat perintah, larangan, memaksa, mengikat, dan mengatur." Nah, seluruh perintah dan larangan yang telah ditetapkan tadi bersifat memaksa. Setiap orang harus mematuhinya, tidak memandang pangkat dan jabatan. Seluruh aturan yang telah ditetapkan bersifat mengikat dan berlaki bagi semua orang.

Ciri-Ciri Norma
1. Secara umumnya tidak tertulis.
2. Merupakan hasil dari kesepakatan.
3. Masyarakat merupakan pendukung yang menaatinya.
4. Melanggar norma sosial mendapatkan sanksi atau hukuman.
5. Menyesuaikan dengan perubahan sosial sehingga dapat dikatakan bahwa norma sosial
dapat mengalami perubahan.
6. Dibuat secara sadar.

Foto oleh lil artsy

Share:

Jumat, 24 Maret 2023

Lembaga Dan Pranata Hukum [25-03-23]

sistem hukum adalah kesatuan dari seluruh peraturan, pranata, dan praktiknya dalam suatu negara tertentu.

Sementara itu, sistem hukum menurut JH Merryman, berarti suatu perangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur, dan aturan hukum.

Subekti dalam Sistem Hukum Indonesia (2019) karya Nandang Alamsah Deliarnoor menjelaskan, suatu sistem yang baik tidak boleh ada pertentangan atau tumpang tindih antara bagian-bagiannya. Oleh karena itu, hukum sebagai suatu sistem artinya tatanan teratur dari aturan-aturan hidup yang keseluruhannya terdiri dari bagian-bagian saling berkaitan.

Masih dari Sejarah Hukum karya Agus Riwanto, berikut sistem hukum populer di dunia:

1. Eropa Kontinental atau Civil Law 
Eropa Kontinental atau atau dikenal juga sebagai sistem hukum Civil Law, dianut oleh negara-negara seperti Perancis, Jerman, Italia, Swiss, Autria, Amerika Latin, Turki, beberapa negara Arab, Afrika Utara, dan Madagaskar. Ciri sistem hukum ini lebih mengutamakan rechtsstaat, yakni membatasi kekuasaan pemerintah dengan hukum. Sistem hukum Eropa Kontinental berkarakter administratif yang menganggap hukum adalah apa yang tertulis. Hakim yang baik menurut Civil Law adalah yang memutus perkara sesuai bunyi undang-undang. Hal ini karena Civil Law lebih mengutamakan kepastian hukum dan formalitas. Oleh karena itu, ciri lain dari Civil Law adalah asas legalitas, yakni seseorang tidak bisa dihukum selama belum ada aturan hukumnya.

Dosen: DR. A.A. Istri Ari Atu Dewi,SH,MH.






2. Anglo Saxon atau Common Law
Anglo Saxon berasal dari Inggris, kemudian menyebar ke Amerika Serikat dan negara-negara bekas jajahannya, seperti Kanada, Singapura, Malaysia, dan Hong Kong. Ciri utama sistem hukum ini adalah lebih mengutamakan pada hukum tidak tertulis atau common law. Kebenaran hukum dan keadilan tidak ditentukan oleh bunyi teks Undang-Undang, tetapi pada kemampuan menggali alat bukti. Hakim dalam memutus perkara diharuskan untuk membuat hukum atau dalil-dalil sendiri berdasarkan nilai keadilan masyarakat dan yurisprudensi. Yurisprudensi sendiri merupakan keputusan hakim terdahulu terhadap suatu perkara yang tidak diatur dalam Undang-Undang dan dijadikan pedoman oleh hakim lainnya. Sistem hukum ini lebih mengutamakan rasa keadilan dibandingkan kepastian hukum. Untuk itu, peran hakim jauh lebih besar daripada peran peraturan perundang-undangan.

3. Hukum Islam 
Ciri utama Hukum Islam adalah dasar hukum pelaksanaan yang berlandaskan pada Al Quran dan Hadis. Oleh karena itu, Hukum Islam lebih mengutamakan pada ketaatan penganutnya dalam menjalankan perintah dan larangan. Selain itu, dikarenakan berdasarkan pada wahyu dan sunah, maka dasar hukum sistem ini tidak mungkin dilakukan amandemen atau pembaruan hukum. Perubahan dalam Hukum Islam dilakukan dengan penafsiran berdasarkan keilmuan melalui metode ijtihad oleh para ulama.

4. Sosialis atau Socialist Law
Sistem hukum sosialis dipraktikan oleh beberapa negara seperti Bulgaria, Yugoslavia, Kuba, dan negara bekas Uni Soviet lain. Ciri utama sistem hukum ini adalah berdasarkan pada ideologi komunis yang berorientasi sosialis. Socialist Law meletakkan pondasi pada ideologi negara komunis dengan semangat untuk meminimalisasi hak-hak pribadi. Di sisi lain, negara menjadi pengatur dan pendistribusi hak-hak dan kewajiban warga negara. Dengan demikian, sistem kepentingan pribadi akan melebur dalam kepentingan bersama.

5. Sistem hukum Sub-Sahara atau Africa Law 
Ciri utama dari sistem hukum Sub-Sahara adalah berorientasi pada komunitas. Artinya, semua hal terkait solidaritas sosial komunitas tertentu menjadi aturan hukum yang disepakati bersama untuk dijalankan, ditaati, dan dipatuhi. Itulah sebabnya dalam sistem hukum ini semua warga terikat pada aturan-aturan komunitasnya masing-masing. Hal ini bisa dipahami dari proses terbentuknya kebangsaan (nations) dari negara penganutnya.

6. Sistem hukum Asia Timur Jauh atau Far East Law 
Ciri utama dari sistem ini adalah menekankan harmoni dan tatanan sosial. Far East Law tidak menyukai hadirnya konflik-konflik secara terbuka. Sebab, konflik terbuka cenderung mendorong lahirnya disintegrasi perpecahan tatanan sosial. Itu mengapa masyarakat dengan sistem hukum ini sangat menghindari proses litigasi (peradilan) dan lebih memilih menyelesaikan konflik melalui media non-litigasi. Adapun sistem hukum Asia Timur Jauh, dianut oleh Jepang, Malta, Filipina, Sri Lanka, Swaziland, dan negara lain.

Foto oleh August de Richelieu

Share:

Lembaga Dan Pranata Hukum [24-03-23]

Sejarah Tata Hukum Indonesia berdasarkan Periodesasi

Sejarah tata hukum di Indonesia terbagi atas periodisasi sejarah, yakni masa prapenjajahan, penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, dan kemerdekaan.

Tata hukum Indonesia adalah tata hukum yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia yang terdiri dari aturan-aturan hukum yang ditata atau disusun sedemikian rupa, dan aturan-aturan itu saling berhubungan dan saling menentukan (Ishad, 2018).

Sejarah Tata Hukum Indonesia

Terkait sejarah tata hukum Indonesia, Wahyu Sasongko dalam Sejarah Tata Hukum Indonesia menerangkan bahwa sejarah tata hukum Indonesia ini terdiri dari tahap-tahap tertentu yang umum dikenal dengan periodisasi sejarah.

Lebih lanjut, periodesasi ini didasarkan pada kondisi politik hukum yang terjadi pada kurun masa tertentu. Adapun tahapan sejarah tata hukum di Indonesia, yakni:

1. masa prapenjajahan;

2. masa penjajahan Belanda;

c. masa penjajahan Jepang; dan

d. masa kemerdekaan.

Penjelasan sejarah tata hukum Indonesia berdasarkan periodesasi sebagaimana dijelaskan Wahyu Sasongko dapat disimak dalam uraian berikut.


Tata Hukum Indonesia Masa Prapenjajahan

Tata hukum Indonesia masa prapenjajahan ini bercorak pluralistik, yang ditandai dengan keragaman hukum yang berlaku bagi masyarakat. Adapun keragaman hukum yang dimaksud yakni hukum adat dan hukum Islam.

Hukum adat ini berlaku menurut sistem kekerabatan masyarakat yang tersebar di Nusantara. Kemudian, hukum Islam berlaku untuk masyarakat yang memeluk Islam.

Lebih lanjut, baik hukum adat dan hukum Islam ini memiliki kedudukan yang setara dan berlaku secara bersamaan atau berdampingan, sesuai dengan bidang dan yuridiksi keduanya.

Sebelum dijajah oleh Belanda, Indonesia (atau Nusantara) telah memiliki tata hukum sendiri. Diterangkan Utrecht (dalam Sasongko, 2013: 23) saat Belanda datang, Indonesia telah memiliki tata hukum sendiri, yaitu tata hukum asli, yang berlainan dari tata hukum Belanda.


Tata Hukum Indonesia Masa Penjajahan Belanda

Arah politik hukum yang dijalankan pemerintah Belanda adalah menerapkan sejumlah prinsip, seperti kodifikasi, konkordansi, unifikasi, dualisme, dan pluralisme hukum.

Pada tahap awal, penggunaan hukum dan prinsipnya tersebut ditujukan untuk memenuhi kepentingan Belanda dengan menindas rakyat.

Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, hukum tidak hanya digunakan sebagai sarana menindas, melainkan juga mencari keuntungan. Di masa ini, merkantilisme terjadi.

Hukum dalam periode ini merupakan saran, instrumen, dan alat dari pihak yang berkuasa.

Dosen : DR. I Made Sudira, SH., MH.





Tata Hukum Indonesia Masa Penjajahan Jepang

Masa penjajahan Jepang berlangsung dengan suasana perang sehingga kondisinya bersifat darurat. Kedaruratan ini berdampak langsung pada situasi dan keadaan tata hukum politik hukum yang mengakibatkan kondisi yang kurang berkembang. Pada era ini, didominasi atau dikuasai oleh penguasa militer.

Terkait tata hukum Indonesia, berdasarkan Osamu Seirei, pemerintah Jepang menetapkan bahwa badan-badan pemerintahan dan kekuasaan pemerintah terdahulu (Hindia Belanda) tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan militer.

Perubahan signifikan yang dilakukan adalah membagi Indonesia ke dalam tiga wilayah militer. Tiga wilayah militer yang dimaksud, antara lain:

1.  Pulau Jawa dan Madura berpusat di Jakarta dan dipimpin oleh Angkatan Darat Jepang;

2.  Pulau Sumatera berpusat di Medan dan dipimpin oleh Angkatan Darat Jepang; dan

3.  Pulau Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Sunda Kecil berpusat di Makassar dan dipimpin oleh Angkatan Laut Jepang.

Nantinya, bentuk peraturan akan disesuaikan dengan ketiga wilayah militer tersebut. Selain pembagian wilayah militer, perubahan tata hukum Indonesia paling signifikan di masa ini terletak pada perubahan peradilan.

Di masa penjajahan Jepang, dualisme dalam tata peradilan dihapuskan. Dengan demikian, hanya ada satu sistem peradilan untuk semua golongan penduduk, namun hal ini dikecualikan bagi orang Jepang.


Tata Hukum Indonesia Masa Kemerdekaan

Tata hukum Indonesia di masa kemerdekaan ini terbagi lagi ke dalam tiga periode, yakni orde lama, orde baru, dan reformasi.

Di masa orde lama, tepatnya di awal kemerdekaan, pemerintahan didasarkan pada UUD 1945 semata. Jika dijabarkan, sistem pemerintahan negara sebagaimana diterangkan dalam Penjelasan UUD 1945 adalah sebagai berikut.

Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum.

Sistem konstitusional.

Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi di bawah majelis.

Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.

Menteri negara ialah pembantu Presiden dan tidak bertanggung jawab kepada DPR.

Kekuasaan kepala negara tidak terbatas.

Sayangnya, UUD 1945 di awal kemerdekaan dinilai belum efektif. Pasalnya, pemerintah Indonesia masih dalam peralihan, kemudian lembaga dan pranata hukum masih belum tersedia. Kemudian, ada pula pengaruh Belanda yang berusaha untuk menjajah kembali.

Pemerintahan masa orde baru, dipandang sebagai tindakan koreksional atas pelaksanaan UUD 1945 yang menyimpang di masa orde lama. Salah satu tindakannya yang relevan dengan politik hukum adalah diterbitkannya Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966.

Ketentuan Pasal 2 MPRS tersebut menyatakan bahwa sumber tertib hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan berlaku bagi pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Dalam ketetapan MPRS tersebut pula, dicanangkan struktur secara komprehensif dengan menjadikan Pancasila sebagai sumber tertib hukum Indonesia; Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.


Ketetapan MPRS yang sama juga mengatur tata urutan peraturan, antara lain:

UUD 1945;

Ketetapan MPRS;

UU/ Peraturan Pemerintah Pengganti UU;

Peraturan Pemerintah;

Keputusan Presiden; dan

Peraturan pelaksana lainnya (Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dll).


Reformasi sejatinya dipandang sebagai tindakan koreksional terhadap pelanggaran orde baru yang ternyata menyimpang dari Konstitusi UUD 1945.

Di era ini, susunan tata hukum Indonesia semakin banyak dan beragam. Hal ini dipengaruhi oleh kebutuhan rakyat atas hukum yang semakin meningkat, adanya kompleksitas persoalan, dan target kerja DPR untuk menjalankan fungsi legislasi.

Selain perubahan tata hukum Indonesia, politik hukum di masa reformasi ini juga ikut berubah. Perubahannya mengarah kepada sistem hukum yang lebih terbuka dan demokratis.


Foto oleh cottonbro studio



Share:
Jasaview.id

Arsip Blog

https://www.tiket.com/?twh=28335430

https://www.canva.com/join/tgg-czw-mlw

https://www.easycash.com/?twh=28335430

https://www.tokopedia.com/?twh=28335430

https://scholar.google.com/citations?user=sSo15lEAAAAJ
https://www.mendeley.com/?interaction_required=true
https://www.turnitin.com/
https://sinta.kemdikbud.go.id/
Web Hosting
https://unr.siakadcloud.com/gate/login