Media Belajar Bersama ~ Gak ada yang lebih keren dari orang yang mengejar impiannya
Tampilkan postingan dengan label materi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label materi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 02 Desember 2023

Hukum Adat [02-12-23]

Istilah Adat

Istilah “adat”,  berasal dari “adab” (bahasa Arab), pertama dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menunjuk kepada aturan kebiasaan yang selama ini telah ada dan untuk membedakannya dengan hukum yang bersumber dari agama (hukum syariah). 

Masing-masing daerah di Indonesia, memiliki istilah tersendiri, untuk menyebut adat, seperti: 

Aceh: Odot.

Lampung: Hadat.

Jawa Tengah/Timur: Ngadat.

Batak: Basa/Bicara.

Minangkabau: Adat Lembago.

Dayak: Mapupuh.

Bali: kerta, pala kerta, dresta, catur dresta, sima,tata krama, tata loka cara, awi-awig, perarem, geguwat, dll. 


Istilah Hukum Adat

Istilah “hukum adat”, pertama kali diperkenalkan  oleh C. Snouck Hurgronje, dengan nama “Adat Recht”,  dalam bukunya “De Atjehers”, yang terbit pada tahun 1892. Selanjutnya istilah ini  dipergunakan dan dipopulerkan oleh Van Vollenhoven.

Istilah tersebut sebenarnya untuk menyebut sistem pengendalian sosial (social control) yang tumbuh dan hidup di Indonesia. Adat recht adalah istilah yang paling mendekati untuk menyebut sistem pengendalian sosial yang hidup di Indonesia.

Resmi menjadi istilah yuridis tahun 1929 seperti tercantum dalam Indische Staatsregeling/I.S (1929) Pasal 134 ayat 2, baru dipergunakan istilah “hukum adat” (adattrecht).  


Istilah Adat dan Hukum Adat 

Memperhatikan pengertian hukum adat di atas dapat diketahui bahwa perbedaan “adat” dan “hukum adat”, merupakan konsepsi pemikiran para pemerhati/peneliti hukum adat/ahli hukum Barat. 

Pengertian “adat” dan “hukum adat” dibedakan berdasarkan sanksinya. Sanksi dalam “hukum adat” jelas/tegas, tidak demikian halnya dengan sanksi dalam “adat”.

Dalam kehidupan masyarakat hukum adat di Hindia Belanda (khususnya di Bali) kedua istilah itu dianggap sama.

Di Bali: awig-awig, perarem, geguat, kerta, pala kerta, dresta, catur dresta, sima, tata krama, tata loka cara, dll, pada awalnya dianggap sama. 


Pengertian Hukum Adat

Van Vollenhoven: hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan – peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat – ala kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.

Ter Haar: hukum adat lahir dari dan dipelihara oleh keputusan – keputusan, keputusan – keputusan para warga masyarkat hukum, terutama keputusan berwibawa dari kepala – kepala rakyat yang membantu pelaksanaan pernuatan hukum.

Soepomo: hukum adat adalah sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan – peraturan legislatif (unstatutory law), meliputi peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.

Sukanto: hukum adat adalah sebagai kompleks adat – adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, mempunyai akibat hukum.

Hasil seminar hukum adat dan pembinaan hukum nasional tanggal 15 s/d 17 Januari 1975 di Yogyakarta sebagai berikut : “hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tetulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang sana sini mengandung unsu agama.


Adat dan Hukum Adat Masih Perlukah pada Zaman Now?

Saya berpendapat masih tetap perlu diketahui, dimengerti, dipahami, dan diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat zaman now. Berikut beberapa alasannya.

Alasan Sosiologis: masih ada dan masih dihormati (ditaati) oleh masyarakatnya. Lebih-lebih lagi untuk di Bali. Dalam banyak hal, hukum adat Bali masih berlaku. Beberapa contoh, perkawinan, tanah, waris, dll.  

Alasan Yuridis: ada landasan yuridis yang jelas mengenai keberadaan hukum adat.

Alasan Filosofis: sejalan dengan pandangan hidup masyarakat dan Pancasila sebagai pandangan hukum bangsa Indonesia.


Alasan Yuridis

UUD 1945 (Sebelum Amendemen)

Pasal II Aturan Peralihan

Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini. 

Penjelasan UUD 1945

II. Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250  zelfberturende landschappen dan voksgemeeschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.  Daerah-daerah ini mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. 

Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara mengenai daerah-daerah itu  akan mengikuti hak-hak asal usul daerah tersebut. 


UUD NRI 1945 (Sesudah Amendemen)

Pasal 18B ayat (2)

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah  yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan ungang-undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan  perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indodnesia, yang diatur dalam undang-undang. 

Pasal 28I ayat (3)

(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. **)

Pasal 32

Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. ****)

Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. ****)


UU Nomor 1 Tahun 2023 Tentang KUHP

Pasal 1

(1) Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.

(2) Dalarn menetapkan adanya tindak pidana dilarang digunakan analogi.

Pasal 2

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.

(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.

(3) Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.


UU Nomor 1 Tahun 2023 Tentang KUHP

Pasal 1

(1) Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.

(2) Dalarn menetapkan adanya tindak pidana dilarang digunakan analogi.

Pasal 2

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.

(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.

(3) Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 64

Pidana terdiri atas:

a.  pidana pokok;

b. pidana tambahan; dan

c. pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang.


Pasal 65

(1) Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a terdiri atas:

a. pidana penjara;

b. pidana tutupan;

c. pidana pengawasan;

d. pidana denda; dan

e. pidana kerja sosial.

(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat atau ringannya pidana.


Pasal 66

(1) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf  b terdiri atas:

a. pencabutan hak tertentu;

b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;

c. pengumuman putusan hakim;

d. pembayaran ganti rugi;

e. pencabutan izin tertentu; dan

f. pemenuhan kewajiban adat setempat.


(2) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dapat dikenakan dalam hal  penjatuhan pidana pokok saja tidak cukup untuk mencapai tujuan pemidanaan.

(3) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhkan 1 (satu) jenis atau lebih.

(4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya.

(5) Pidana tambahan bagi anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana dalam perkara koneksitas dikenakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Tentara Nasional Indonesia.


Pasal 96

(1) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat diutamakan jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).

(2) Pemenuhan kewajiban adat setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda kategori II.

Pasal 79

(l) Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan:

a. kategori I, Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah);

b. kategori II, Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);

c. kategori III, Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);

d. kategori IV, Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);

e. kategori V, Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

f. kategori VI, Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);

g. kategori VII, Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan

h. kategori VIII, Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

(2) Dalam hal terjadi perubahan nilai uang, ketentuan besarnya pidana denda ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


Strategi Belajar/Memahami Hukum Adat

Van Vollenhoven[1] dalam orasinya pada tanggal. 2 Oktober 1901 mengemukakan bahwa untuk mengetahui dan memahami hokum adat, “….maka adalah terutama perlu diselidiki buat waktu apabilapun dan di daerah manapun juga bisa, sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu, hidup sehari-hari. Paling terasa gunanya mempelajari masyarakat adat itu, jikalau kita hendak memahami segala hubungan hukum dan tindakan hukum dibidang perkawinan menurut adat, dibidang pertalian sanak (keluarga) menurut adat dan dibidang waris menurut adat” (Soepomo, 1977: 41; Bushar Muhammad, 1994: 21). 

[1]  Seperti halnya V.E. Korn, Van Vollenoven (gurunya Ter Haar), juga seorang  intelektual berkebangsaan Belanda, yang pernah mengadakan penelitian kepustakaan tentang hukum adat di Indonesia, dan berhasil menjadikan hukum adat sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri di Universitas Leiden, Belanda. Oleh karena itu, Van Vollenoven dijuluki “Bapak Hukum Adat Indonesia”. 


Istilah Adat dan Hukum Adat Bali

Ada dua jenis masyarakat hukum adat yang paling dikenal di Bali, yaitu: “desa adat” dan “subak”. 

Telah dikemukakan bahwa dalam kehidupan masyarakat hukum adat di Bali (desa adat dan subak) pada awalnya istilah “adat” dan “hukum adat” dianggap sama, walaupun disebut dengan berbagai istilah, seperti: awig-awig, perarem, geguat, kerta, pala kerta, dresta, catur dresta, sima, tata krama, tata loka cara, dll, pada awalnya dianggap sama. 

Sejalan dengan perkembangan zaman, istilah-istilah itu mengalami perubahan, semakin mengerucut menjadi “hukum adat Bali”, “awig-awig” dan “perarem” . Muncul juga istilah “desa mawacara” dan “Bali mawacara”. 

Perubahan lainnya: “adat” dan “hukum adat Bali” pada akhirnya juga dibedakan berdasarkan sanksi yang menyertai mengikuti konsepsi pemikiran para pemerhati/peneliti hukum adat/ahli hukum Barat. Sanksi dalam “hukum adat Bali” jelas/tegas, tidak demikian halnya dengan sanksi dalam “adat Bali”. 

Ketentuan “adat” dan “hukum adat Bali” yang sebelumnya lebih banyak tidak tertulis, sekarang diusahakan lebih banyak tertulis. 



Dosen pengajar:

Prof. Dr. Wayan P. Windia





Photo by Tima Miroshnichenko

Share:

Jumat, 27 Oktober 2023

Kriminologi dan Victimologi [27-10-23]

Persamaan dan Perbedaan Kriminologi dengan Hukum Pidana

Perlu diketahui masing-masing pengertian dari kriminologi (criminology) dan hukum pidana (criminal law) sebagaimana penjelasan di bawah ini, yaitu sebagai berikut:

Kriminologi (Criminology) 
Secara etimologi kata kriminologi (Hari Saherodji, 1980:9) berasal dari kata crime dan logos. Crime memiliki arti sebagai kejahatan sedangkan logos memiliki arti sebagai ilmu pengetahuan. Kriminologi merupakan suatu disiplin ilmu sosial yang mempelajari kejahatan atau tindak pidana dari sisi sosial atau istilah yang dikenal dengan sebutan non normative discipline. Hal mana dalam kriminologi itu sendiri mempelajari manusia dalam pertentangannya dengan norma-norma sosial tertentu sehingga dapat diketahui gejala-gejala sosial atas kejahatan yang terjadi di lingkungan masyarakat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kriminologi mencari sebab timbulnya suatu kejahatan. Adapun ruang lingkup kajian kriminologi yang tidak hanya mencari sebab terjadinya kejahatan, akan tetapi memiliki beberapa ruang lingkup yang terdiri dari: 
1.Orang yang melakukan kejahatan; 
2.Penyebab melakukan kejahatan; 
3.Mencegah tindak kejahatan; dan 
4.Cara-cara menyembuhkan orang yang telah melakukan kejahatan. 

Khususnya di negara-negara Anglo Saxon, kriminologi dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yang terdiri dari:
Criminal Biology
Pada bagian ini menyelidiki dalam diri orang itu sendiri akan sebab-sebab dari perbuatannya, baik dalam jasmani maupun rohaninya. 

Criminal Sosiology
Pada bagian ini mencoba mencari sebab-sebab terjadinya kejahatan dalam lingkungan masyarakat tempat di mana pelaku kejahatan tersebut berada. 

Criminal Policy
Pada bagian ini kebijakan atau tindakan-tindakan apa yang sekiranya harus dilakukan agar supaya orang lain tidak berbuat kejahatan.

Pengertian Kriminologi
Secara Etimologi kata kriminologi (Hari Saherodji, 1980: 9) berasal dari kata crime dan logos. Crime jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti kejahatan sedangkan logos jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti ilmu pengetahuan. 

Kriminologi (criminology) mempelajari kejahatan dari segala sudut pandang terkhususnya terhadap kejahatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Adapun untuk pelaku kejahatan pada kriminologi dibahas dari 2 (dua) segi, yaitu:
1..Penyebab atau motif seseorang melakukan kejahatan; dan
2.  Kategori pelaku kejahatan sebagaimana tipe-tipe penjahat.




Dosen: Dr. Wayan Santoso, SH., MH

Penyebab Seseorang Melakukan Kejahatan
Hal mana untuk mengetahui sebab perilaku menyimpang (tindak kejahatan) dan perilaku dari penjahat ini lebih sering menggunakan aliran kriminologi yang positif. Aliran ini memiliki maksud dan tujuan supaya nantinya sebab dan akibat dari perilaku kejahatan seseorang bisa diketahui dan dibedakan dari berbagai aspek yang dapat dimulai dari:
1.  Aspek Psikologis;
2.  Aspek Sosio-Kultural; dan
3.  Aspek Biologis.

Kategori pelaku kejahatan sebagaimana tipe-tipe penjahat
Adapun kejahatan memiliki ciri dan kriteria perilaku atau perbuatan yang dilakukan dipelajari dari undang-undang hukum pidana. Hal ini diartikan bahwa tindak pidana atau kejahatan merupakan tindakan yang menyimpang dan tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat serta tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. 

Kemudian kriminologi juga mempelajari reaksi atau respon masyarakat terhadap kejahatan yang terjadi, hal mana kriminologi mempelajari hal tersebut sebagai salah satu upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan yang timbul di lingkungan masyarakat. 

Adapun kriminologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang objek kajiannya adalah kejahatan yang pada dasarnya merupakan suatu gejala sosial yang timbul dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut kriminologi dapat dikatakan sebagai suatu disiplin ilmu yang bersifat faktual.

Pengertian Kriminologi berdasarkan Pendapat Para Ahli

Hari Saherodji
Pengertian kriminologi menurut pendapat yang dikemukakan oleh Hari Saherodji (1980:9) menyatakan bahwa kriminologi mengandung pengertian yang sangat luas. Hal tersebut dikatakan sangat luas oleh beliau dikarenakan dalam mempelajari kejahatan tidak dapat lepas dari pengaruh dan sudut pandang yang memandang kriminologi dari sudut perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.

P. Topinard
Kemudian P. Topinard menyatakan pendapatnya bahwa ilmu kriminologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejahatan secara khusus dan dari beragam aspek. Adapun P. Topinard sendiri merupakan salah satu ahli antropologi yang berasal dari negara Perancis yang menyatakan hal mengenai ilmu kriminologi pertama kali.

L. Moeljatno
Adapun L. Moeljatno (1986: 6) menyatakan pendapatnya bahwa kriminologi (criminology) merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan dan kelakuan buruk serta mempelajari mengenai orang yang terlibat pada kedua hal tersebut. Lebih lanjut L. Moeljatno mengemukakan pendapatnya bahwa kriminologi merupakan:
“sebagai suatu istilah global atau umum untuk suatu lapangan ilmu pengetahuan yang sedemikian rupa dan beraneka ragam, sehingga tidak mungkin dikuasai oleh seorang ahli saja.”

Wilhelm Sauer
Sementara menurut Wilhelm Sauer (L. Moeljatno, 1986: 3) bahwa kriminologi (criminology) adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang dilakukan oleh individu dan bangsa-bangsa yang berbudaya. Oleh sebab itu, Wilhelm Sauer menjelaskan obyek penelitian kriminologi terdiri dari 2 (dua) obyek, yaitu:
1.  Perbuatan Individu (Tat und Tater); dan
2.  Perbuatan Kejahatan (Crime).

Van Bemmelen
Van Bemmelen (L. Moeljatno, 1986: 3) menyatakan pendapatnya bahwa kriminologi mempelajari interaksi yang ada antara kejahatan dengan perwujudan lain dari kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, kriminologi dapat dikatakan merupakan bagian dari ilmu tentang kehidupan bermasyarakat yang terdiri dari ilmu sosiologi dan ilmu biologi. Hal ini disebabkan karena manusia merupakan makhluk hidup.

Thorsten Sellin
Menurut salah satu ahli yang berasal dari Amerika Serikat Thorsten Sellin (L. Moeljatno, 1986: 3), mengemukakan pendapatnya bahwa istilah kriminologi (criminology) di Amerika Serikat dipakai untuk menggambarkan ilmu tentang penjahat dan cara penanggulangannya (treatment).

Sutherland
Sutherland (L. Moeljatno, 1986: 4) mengemukakan bahwa kriminologi sebagai keseluruhan ilmu-ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kejahatan sebagai suatu gejala sosial masyarakat (the body of knowledge regarding crimeas a social phenomenon) yang meliputi:
1. Cara proses membuat undang-undang;
2. Pelanggaran terhadap undang-undang; dan
3. Reaksi terhadap pelanggaran-pelanggaran ini, hal mana merupakan 3 (tiga) segi pandangan atau aspek dari suatu rangkaian hubungan timbal balik yang sedikit banyaknya merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Selanjutnya Sutherland menjelaskan kriminologi dibagi menjadi 3 (tiga) cabang ilmu utama, yaitu: 

Sosiologi Hukum
Dalam hal ini menjelaskan kejahatan merupakan perbuatan yang oleh hukum dilarang dan diancam dengan suatu sanksi. Berdasarkan hal tersebut kemudian menentukan bahwa suatu perbuatan itu merupakan kejahatan adalah hukum. Adapun pada cabang ini menyelidiki 2 (dua) hal, yaitu:
1.  Sebab-sebab kejahatan; dan
2.  Faktor-faktor yang menyebabkan perkembangan hukum khususnya perkembangan pada hukum pidana.

Etiologi Hukum
Cabang ini merupakan cabang ilmu kriminologi yang mencari sebab akibat dari kejahatan yang dalam kriminologi, etiologi kejahatan merupakan kajian yang paling utama.

Penologi (Penology)
Pada dasarnya penologi merupakan ilmu tentang hukuman, akan tetapi Sutherland pada cabang ini memasukkan hak-hak yang berhubungan dengan usaha pengendalian kejahatan seperti:
Pengendalian secara Represif dan Pengendalian secara Represif Preventif.

W. A. Bonger
Sedangkan W.A. Bonger (Hari Saherodji, 1980: 9) menyatakan pendapatnya mengenai pengertian kriminologi sebagai: “ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas - luasnya”.

Melalui definisi ini, W.A. Bonger kemudian membagi kriminologi menjadi kriminologi murni yang mencakup:
1. Antropologi Kriminal (Anthropology Kriminil);
2. Sosiologi Kriminal (Sociology Kriminil);
3. Psikologi Kriminal (Psychologi Kriminil);
4. Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminal (Psychopathology and Neuropathology Kriminil);
5. Penologi (Penology); dan
6. Kriminalistik (Criminalistic).

Antropologi Kriminal
Antropologi kriminal atau yang biasa dikenal dengan sebutan anthropology kriminil, yakni ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat yang merupakan suatu bagian dari ilmu alam.

Sosiologi Kriminal
Sosiologi kriminal atau yang biasa dikenal dengan sebutan sociology kriminil, yakni ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat yang pada pokoknya tentang sampai dimana letak sebab-sebab kejahatan dalam masyarakat (etiologi sosial) dalam arti luas juga termasuk penyelidikan mengenai keadaan psikologi (psychology).

Psikologi Kriminal
Psikologi kriminal atau yang biasa dikenal dengan sebutan psychologi kriminil yakni ilmu pengetahuan tentang kejahatan dipandang dari sudut ilmu jiwa dari orang-orang seperti di pengadilan sebagai saksi, pembela dan lain-lain serta tentang pengakuan seseorang sebagai contohnya:
Penyelidikan mengenai jiwa dari penjahat yang dapat ditujukan semata-mata pada kepribadian perseorangan yang apabila dibutuhkan dalam persidangan untuk memberi penerangan pada hakim mengenai penyusunan tipologi atau golongan penjahat;
Penyelidikan mengenai gejala-gejala yang nampak pada kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok; dan
Penyelidikan psychology kriminil atau sosial mengenai repercussis yang disebabkan oleh perbuatan tersebut dalam pergaulan hidup yang tak boleh dilupakan.

Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminal
Psikopatologi dan neuropatologi kriminal atau yang biasa dikenal dengan sebutan psychopathology and neuropathology kriminil, yakni merupakan ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dihinggapi sakit jiwa atau sakit urat syaraf.

Penologi
Penologi atau yang biasa dikenal dengan sebutan penology, yakni merupakan ilmu pengetahuan tentang timbul dan tumbuhnya hukuman serta arti dan faedahnya.

Kriminalistik
Kriminalistik atau yang biasa dikenal dengan sebutan criminalistic merupakan ilmu pengetahuan untuk dilaksanakan yang menyelidiki teknik kejahatan dan pengusutan kejahatan yang merupakan gabungan ilmu jiwa tentang:
1.  Kejahatan (crime);
2.  Penjahat (criminals);
3.  Ilmu Kimia (chemistry);
4.  Pengetahuan tentang Barang-Barang;
5.  Grafologi (Graphology);
6.  dan lain-lain.


Pengertian Kriminologi dalam Arti Sempit dan Luas

Pengertian Kriminologi dalam Arti Sempit
Kriminologis bisa diartikan secara sempit sebagai pendapat yang dikemukakan salah satu ahli hukum Prof. Romli Antasasmita, hal mana beliau mengartikan kriminologi sebagai suatu kejahatan. Akan tetapi jika ditelusuri secara keilmuan, kriminologi mempelajari mengenai bentuk dan contoh dari suatu perilaku kriminal dengan kategori tertentu sehingga akan bisa didapatkan secara pasti mengenai batasan hukum yang berlaku di masyarakat dengan harapan akan terjadi keadilan hukum.

Adanya hal ini memberikan harapan ke depannya supaya bisa mencapai keseragaman dalam menerapkan ilmu kriminologi ke dalam masyarakat dan juga diharapkan bisa memiliki studi ilmu kriminologi dengan objek yang bisa dengan mudah dikembangkan seperti salah satu contohnya menggunakan latar belakang dari perumusan yuridis yang tidak terikat.

Pengertian Kriminologi dalam Arti Luas
Dalam arti luas, kriminologi merupakan ruang lingkup yang mempelajari tentang penologi (penology). Adapun pengertian mengenai penologi itu sendiri merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tentang hukuman dan juga sebuah ilmu yang mempelajari mengenai metode yang sesuai dengan berbagai tindakan yang memiliki sifat non punitif.

Adapun Walters C. Recless pada buku karyanya yang berjudul "The Crime Problem" menyatakan bahwa ruang lingkup ilmu kriminologi terdiri dari 10 (sepuluh) ruang lingkup sebagaimana disebutkan di bawah ini, yakni:
1.  Kriminologi memiliki pengertian sebagai ilmu yang mempelajari tentang kejahatan secara mendalam yang mencakup: 
Apakah kejahatan yang telah dilakukan akan dilaporkan kepada badan resmi atau yang berwenang;  Bagaimana badan resmi tersebut menanggapi laporan tentang pelaporan atas kejahatan yang telah dilakukan; dan 
Bagaimana proses tindakan dari badan resmi atau yang memiliki wewenang dalam menangani laporan tersebut.

2. Kriminologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang perkembangan dan perubahan hukum pidana di dalam masyarakat. Adapun ilmu ini memiliki hubungan dengan nilai ekonomi dan politik yang mengikutsertakan tanggapan dalam bermasyarakat.

3. Kriminologi merupakan suatu ilmu yang secara fokus mempelajari tentang keadaan penjahat di dalam masyarakat dengan cara membandingkan jumlah antara penjahat dan bukan di lingkungan tersebut yang kemudian membaginya ke dalam beberapa golongan dengan berdasarkan:
Jenis Kelamin (Gender), Kebangsaan (Nationality), Ras, Kedudukan Sosial dan Keadaan Ekonomi.

4. Kriminologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang daerah dan wilayah yang erat kaitannya dengan jumlah kejahatan yang terjadi pada daerah tersebut. Dalam ilmu ini juga mempelajari dan mengkaji mengenai bentuk kejahatan yang terjadi secara fisik seperti contohnya:

Pada wilayah pelabuhan akan terjadi kasus kejahatan seperti kasus penyelundupan orang atau barang; dan 
Pada lingkungan pejabat akan terjadi kejahatan berupa :Kasus Suap (bribe) dan Kasus Korupsi (corruption).

5. Kriminologi merupakan suatu ilmu yang akan memberikan kejelasan mengenai gambaran yang mengacu pada berbagai faktor penyebab terjadinya kejahatan dengan diperkuat teori dan pengajaran yang jelas mengenai kejahatan di kriminologi.

6. Kriminologi mempelajari mengenai berbagai perilaku yang mengarah pada kejahatan yang selanjutnya akan diwujudkan secara istimewa. Terdapat berbagai tindakan yang termasuk ke dalam kelainan pada pelaku kejahatan bahkan pada kasus kejahatan di era modern saat ini seperti:
Pembobolan Mesin ATM (Automatic Teller Machine/ Anjungan Tunai Mandiri);
Tindak Pidana Pencucian uang (TPPU);
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor);
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO);
Suap (Bribe);
Gratifikasi (Gratification); dan
Pembajakan Pesawat atau Kapal.

7. Kriminologi merupakan suatu ilmu yang secara mendalam mempelajari tentang berbagai hal yang berhubungan dengan kejahatan seperti:
Prostitusi (Prostitution);
Perjudian (Gambling);
Narkoba (Drugs);
Obat Terlarang; dan
Minuman Keras.

8. Kriminologi merupakan suatu keilmuan yang mengkaji lebih dalam lagi seperti apakah perundang-undangan dan badan penegak hukum sudah bisa bekerja secara efektif dalam masyarakat.

9. Kriminologi merupakan suatu ilmu yang mengkaji mengenai manfaat dari lembaga dan badan yang berfungsi untuk menangkap, menahan, mengadili dan menghukum pelaku tindak pidana atau pelaku kejahatan.

10. Kriminologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang kejahatan serta mengetahui usaha yang tepat untuk mencegah kejahatan pada manusia.


Mengenai pembahasan kriminologi meliputi 3 (tiga) hal pokok yang terdiri dari:
1.  Proses pembuatan hukum pidana dan acara pidana (making laws). Adapun pembahasan dalam proses pembuatan hukum pidana (process of making laws), meliputi: 
Definisi kejahatan;
Unsur-unsur kejahatan;
Relativitas kejahatan;
Penggolongan kejahatan; dan 
Statistik kejahatan.

2.  Etiologi kriminal, yakni membahas tentang teori-teori yang menyebabkan terjadinya kejahatan (breaking of laws). Adapun yang dibahas dalam etiologi kriminal, meliputi: 
Aliran atau mazhab kriminologi;
Teori-teori kriminologi; dan
Berbagai perspektif kriminologi.

3. Reaksi terhadap pelanggaran hukum (reacting toward the breaking of laws), Reaksi dalam hal ini bukan hanya ditujukan kepada pelanggar hukum berupa tindakan represif tetapi juga reaksi terhadap calon pelanggar hukum berupa upaya-upaya pencegahan kejahatan (criminal prevention). Adapun yang dibahas dalam bagian ketiga ini adalah perlakuan terhadap pelanggar-pelanggar hukum (reacting toward the breaking of laws) yang meliputi:
Teori-teori penghukuman;
Upaya-upaya penanggulangan atau pencegahan kejahatan baik berupa:
Tindakan preventif; 
Tindakan represif; dan 
Tindakan rehabilitatif.

Berdasarkan uraian singkat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kriminologi (criminology) merupakan suatu bidang ilmu yang cukup penting untuk dipelajari karena dengan adanya kriminologi, kita dapat mempergunakannya sebagai kontrol sosial (social control) terhadap kebijakan dan pelaksanaan hukum pidana.

Kriminologi itu sendiri merupakan bagian dari ilmu sosial akan tetapi kriminologi tidak dapat dipisahkan dengan bidang ilmu hukum karena merupakan bagian dari kurikulum program studi ilmu hukum (hukum pidana) yang perlu diajarkan bagi mahasiswa hukum di perguruan tinggi dan juga bagi para aparat penegak hukum seperti Polisi dan Jaksa. Dengan adanya lembaga kriminologi diharapkan dapat memberikan ide dalam mengembangkan kriminologi sebagai science for welfare of society.


Hukum Pidana (Criminal Law) 
Hukum Pidana merupakan suatu disiplin ilmu normatif (normative discipline) yang mempelajari aturan tentang kejahatan atas tindakan-tindakan yang disebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berupa kejahatan atau pelanggaran yang dapat dikenai hukuman pidana. 

Dengan kata lain, apabila belum ada peraturan perundang-undangan yang memuat dan mengatur tentang hukuman yang dijatuhkan kepada penjahat atau pelanggar atas tindakannya maka tindakan tersebut tidak dapat dikenakan hukuman sebagaimana asas yang dikenal dalam hukum pidana, yaitu tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu atau nullum delictum, nulla poena sine praviea lege poenali. (untuk penjelasan selengkapnya tentang pengertian hukum pidana silahkan baca: disini).

Persamaan Kriminologi dan Hukum Pidana

Adapun kriminologi (criminology) memiliki persamaan dengan hukum pidana (criminal law), yaitu sebagai berikut:
1.  Hal mana kriminologi dengan hukum pidana memiliki hubungan langsung dengan: 
Pelaku Kejahatan; Hukuman; dan Perlakuannya. 

2.  Hukum pidana dan kriminologi dengan beberapa pertimbangan merupakan instrumen dan sekaligus alat kekuasaan negara dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yang memiliki kolerasi positif dan berpihak pada premis yang sama. Negara merupakan sumber kekuasaan dan seluruh alat perlengkapan negara merupakan pelaksanaan dari kekuasaan negara; 

3.  Hukum pidana dan kriminologi memiliki persepsi yang sama bahwa masyarakat adalah bagian dari obyek pengaturan oleh kekuasaan negara bukan subyek yang memiliki kedudukan yang sama dengan negara; 

4.  Hukum pidana dan kriminologi menempatkan peranan negara lebih dominan daripada peranan individu dalam menciptakan ketertiban dan keamanan masyarakat. 


Perbedaan Kriminologi dan Hukum Pidana
Adapun perbedaan kriminologi (criminology) dan hukum pidana (criminal law), yaitu sebagai berikut: 

1.  Kalau kriminologi memiliki pengertian kejahatan yang berbeda dengan hukum pidana, adapun kejahatan menurut kriminologi adalah tindakan manusia dalam pertentangannya dengan beberapa norma yang ditentukan oleh masyarakat, lain halnya dengan hukum pidana yang menentukan kejahatan berdasarkan tindakan-tindakan yang telah dirumuskan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP); 

2.  Kalau obyek dari kriminologi adalah orang dalam pertentangan dengan norma-norma sosial sedangkan obyek hukum pidana adalah kejahatan dan pelanggaran yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan; 

3.  Kalau kriminologi terpusat pada faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan sedangkan hukum pidana terpusat pada pembuktian suatu kejahatan; 

4.  Kalau kriminologi memiliki tujuan untuk mengungkapkan motif atau pola pelaku kejahatan sedangkan hukum pidana ditujukan kepada hubungan antara tindakan dan akibatnya (hubungan kausalitas) yang dapat ditelaah dengan bukti-bukti yang memperkuat adanya niat dari pelaku dalam melakukan tindak pidana atau kejahatan. 

Berkaitan dengan hubungan antara hukum pidana (criminal law) dengan kriminologi (criminology) sebagaimana dijelaskan di atas terdapat perbedaan pandangan dari beberapa para ahli seperti Simons dan Van Hamell memasukkan kriminologi sebagai bagian atau pendukung dari ilmu hukum pidana. 

Adapun alasan yang dikemukakan pada umumnya bahwa untuk menyelesaikan suatu perkara kejahatan tidaklah cukup jika hanya mempelajari pengertian dari hukum pidana yang berlaku, mengonstruksikan apa yang dimaksud serta menjalankannya sesuai sistem akan tetapi perlu diselidiki juga penyebab terjadinya kejahatan tersebut terutama mengenai tentang diri pribadi pelaku kejahatan serta tentang cara-cara pemberantasan kejahatan tersebut. 

Sedangkan Zevenbergen berpendapat bahwa kriminologi termasuk dalam ilmu hukum pidana. Adapun alasan yang dikemukakan oleh Zevenbergen adalah sebagai berikut:
1.  Ilmu hukum pidana merupakan ilmu untuk mengetahui atau mempelajari hukum positif yang terdiri dari norma-norma dan sanksi pidananya. 

2.  Pidana merupakan balasan atau ganjaran bagi seseorang pelaku tindak pidana yang telah melakukan kejahatan. Dengan adanya penekanan pada pidananya, maka kriminologi tidak memiliki keterkaitan dengan hal tersebut.

3. Metode ilmu hukum pidana adalah deduktif, hal mana ketentuan-ketentuan hukum pidana sudah ada. Oleh karena itu, metode yang digunakan berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum pidana inilah yang dinilai apakah suatu tindakan termasuk suatu tindak pidana atau bukan. Sedangkan metode dari kriminologi  adalah empiris induktif, hal mana metode yang digunakan berdasarkan penyelidikan secara empiris yang kemudian dikaji apakah suatu tindakan dalam kenyataannya berupa suatu kejahatan atau bukan tanpa terikat pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam hukum positif. 

Adapun untuk perbedaannya dapat kita lihat dari contoh di bawah ini : 
Mr. X telah melakukan kejahatan atau tindak pidana "pembunuhan". Dari peristiwa pidana tersebut kemudian dikaji dari sisi kriminologi (criminology) yang ingin mengetahui apa yang menjadi latar belakang dari Mr. X sehingga melakukan tindak pidana pembunuhan dan pertanyaan yang lain timbul adalah mengapa dia melakukan tindak pidana pembunuhan tersebut. 

Sedangkan dari segi Hukum Pidana (criminal law) ingin mengetahui apakah Mr. X telah melakukan kejahatan dan pertanyaan yang timbul apakah dia telah melakukan kejahatan. Dengan kata lain, hukum pidana terlebih dahulu menetapkan seseorang sebagai penjahat lalu kriminologi meneliti mengapa seseorang tersebut melakukan kejahatan.
Share:

Jumat, 29 September 2023

Hukum perundang- undangan [30-09-23]

Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Untuk memahami lebih lanjut, berikut ini penjelasan tentang asas pembentukan peraturan perundang-undangan selengkapnya. Asas ini wajib diterapkan dalam membuat peraturan perundang-undangan. 

1. Asas Kejelasan Tujuan 

Asas kejelasan tujuan adalah asas yang menyatakan bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. 

2. Asas Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang Tepat 

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan selanjutnya yakni asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat merupakan asas yang menentukan bahwa setiap harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang.

Peraturan Perundang-undangan tersebut, dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang

3. Asas Kesesuaian Antara Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan 

Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan menjadi asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Asas ini menegaskan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Artinya, masing-masing peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya sesuai urutan hierarki peraturan perundang-undangan

Artinya, masing-masing peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya sesuai urutan hierarki peraturan perundang-undangan

4. Asas Dapat Dilaksanakan 

Selain itu, asas pembentukan peraturan perundang-undangan lainnya yakni asas dapat dilaksanakan. Asas tersebut menegaskan bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Oleh karena itu, dalam pembentukannya, harus diperhatikan landasan filosofis, sosiologis, maupun yuridis

Oleh karena itu, dalam pembentukannya, harus diperhatikan landasan filosofis, sosiologis, maupun yuridis.




5. Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan 

Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, merupakan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang menegaskan, bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Artinya, peraturan perundang-undangan tersebut harus sangat dibutuhkan dan bermanfaat untuk masyarakat.

Artinya, peraturan perundang-undangan tersebut harus sangat dibutuhkan dan bermanfaat untuk masyarakat.

6. Asas Kejelasan Rumusan 

Asas kejelasan rumusan, merupakan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang menegaskan, bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti. Ini dimaksudkan, agar tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

7. Asas Keterbukaan 

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan berikutnya yakni asas keterbukaan. Asas keterbukaan merupakan asas yang paling terlihat. Asas ini menegaskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.

Ini termasuk pemantauan dan peninjauan memberikan akses kepada publik yang mempunyai kepentingan dan terdampak langsung untuk mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan pada setiap tahapan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dilakukan secara lisan dan/atau tertulis dengan cara daring atau dalam jaringan dan/atau luring atau luar jaringan.

Foto oleh Katerina Holmes
Share:

Senin, 24 Juli 2023

Hukum dan Konstitusi [22-07-23]

Negara merupakan sekumpulan orang yang menempati wilayah tertentu dan diatur oleh pemerintah negara yang sah. Negara juga memiliki tujuan yakni menciptakan kebahagiaan bagi seluruh rakyatnya disamping itu negara juga memiliki fungsi yakni negara harus mampu melindungi rakyat dan menjamin keamanannya, mengatur dan adil terhadap rakyatnya dan mensejahterakan rakyatnya.

Negara dapat diumpamakan bagai sebuah bangunan, untuk menjadi sebuah bangunan yang kuat dan kokoh perlulah sebuah bangunan tersebut memiliki tiang, sedangkan tiang yang berada dalam sebuah negara adalah hukum  yang mana memiliki bersifat mengatur atau memaksa. Dan juga sebuah negara haruslah memiliki konstitusi yang mana memiliki wewenang dalam menentukan batas wewenang penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur jalannya pemerintahan.

Untuk menjadi negara yang kuat seluruh elemen yang terdapat dalam negara harus tunduk terhadap aturan yang terdapat dalam konstitusi. Agar menjadi negara yang kuat dan diakui. Oleh karenanya perlulah rakyat mengenal lebih dekat tentang Konstitusi dan hukum.

HUKUM

Hukum adalah peraturan atau norma yaitu petunjuk atau pedoman hidup yang wajib ditaati oleh manusia. Hukum diadakan dengan tujuan agar menimbulkan tata atau damai dan yang lebih dalam lagi yaitu keadilan di dalam masyarakat mendapatkan bagian yang sama, dan akhirnya dapat terwujud atau terlaksana adanya cuum ciuquo tribuere(kepada masing-masing anggota masyarakat mendapat bagian yang sama).

 



Hukum terdapat dimanapun terdapat manusia disitu pasti terdapat hukum., disamping itu hukum juga memiliki fungsi dan tujuan adapun fungsi hukum adalah sebagai berikut:

 

1.    Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat

2.    Hukum juga member petunjuk kepada manusia untuk dapat memilih mana yang harus diperbuat dan mana yang tidak perlu diperbuat hal ini dikarenakan hukum memiliki karakter untuk mengatur karakter dan mengatur tingkah laku masyarakat

3.    Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir batin

4.    Hukum mempunyai ciri memerintah, melarang mempunyai sifat memaksa, mempunyai daya yang mengikat fisik dan psikologis. Karena hukum memiliki ciri, sifat dan daya mengikat tersebut, maka hukum dapat memberikan keadilan dapat menetukan siapa yang bersalah dan siapa yang tidak bersalah. Hukum dapat memaksa agar peraturan ditaati dan yang melanggar akan diberi sanksi

5.    Sebagai penggerak pembangunan

6.    Daya mengikat dan memaksa hukum dapat digunakan atau didaya gunakan untuk menggerakkan pembangunan kea rah yang lebih baik. Dalam hal ini sering timbul kritik, bahwa hukum hanya melaksanakan dan mendesak masyarakat sedangkan aparatur otoritas lepas dari control hukum

7.    Fungsi kritis hukum

Kerja hukum tidak semata-mata melakukan pengawasan pada apartur pengawasan dan aparatur pemerintah saja, melainkan aparatur penegak hukum juga terdapat didalamnya

  

KONSTITUSI

Istilah konstitusi berasal dari constituer yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan adalah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Sebagian ada yang berpendapat bahwasannya Undang-undang dasar merupakan konstitusi. Pengertian konstitusi bisa memiliki arti yang sangat luas dari pada pengertian Undang-undang dasar, konstitusi juga bisa dijumpai berupa konstitusi tertulis atau tidak tertulis yang mengatur dan mengikat masyarakat.

Selain sebagai dokumen nasional, konstitusi juga sebagai alat untuk membentuk sistem politik dan sistem hukum negaranya.itulah sebabnya, menurut A.A.H. Struycken undang-undang dasar grondwetsebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi:

1.    Hasil perjuangan politik bangsa diwaktu yang lampau

2.    Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa

3.    Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang

4.    Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin

5.    Apabila masing-masing materi muatan tersebut kita kaji, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa disamping sebagai dokumen nasional dan tanda kedewasaan dari kemerdekaan sebagai bangsa, konstitusi juga sebagai alat yang berisi sistem politik dan sistem hukum yang hendak diwujudkan


Selain itu konstitusi juga memiliki kedudukan, fungsi, dan tujuan konstitusi dalam negara berubah dari zaman ke zaman. Pada masa peralihan dari negara feudal monarki atau oligarki dengan kekuasaan mutlak penguasa ke negara nasional demokrasi, konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa yang kemudian secara berangsur-angsur  mempunyai fungsi sebagai alat rakyat dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa. Setelah itu pada saat kemerdekaan kedudukannya bergeser menjadi sebagai penjaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat. Konstitusi memiliki wewenang untuk menetukan batas wewenang penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur jalannya pemerintahan.

  

HUBUNGAN HUKUM DAN KONSTITUSI

Dari penjabaran yang telah dijelaskan diatas kita dapat menyimpulkan, bahwasannya antara hukum dan konstitusi memiliki keterkaitan satu sama lain yakni di dalam konstitusi terkandung hukum, konstitusi memberikan batasan-batasan bagi penegak hukum dalam hal pembuatan Undang-undang, agar tidak sampai melampaui batas semestinya, didalam konstitusi juga terkandung hak-hak asasi manusia, ditetapkannya susunan ketatanegaraan, 

 

Photo by George Milton

Sumber artikel: Kompasiana

Share:

Jumat, 09 Juni 2023

Sosialisasi Hukum [9-06-23]

S
osiologi dan ilmu hukum mempunyai kaitan. jika ilmu hukum hanya memandang hukum dari segi normatif saja yaitu perundang-undangan atau perntah penguasa. maka sosiologi hukum memandang hukum adalah gejala sosial yang ada di dalam masyarakat.

Apa tujuan mempelajari sosiologi hukum di Fakultas hukum?
Sosiologi Hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai praktik-praktik hukum baik oleh para penegak hukum maupun masyarakat.

Sosiologi hukum termasuk dalam ilmu hukum. Karena dalam objek sosiologi hukum telah dijelaskan bahwa yang melahirkan sosiologi hukum bukanlah kalangan sosiologi melainkan kalangan ilmu hukum. Yakni, para ahli yang menguasai bidang sosiologi berkolaborasi dengan ahli di bidang hukum.

Kegunaan Sosiologi Hukum
Memberikan kemampuan pemahaman hukum dalam konteks sosial. Memberikan kemampuan untuk menganalisis efektifitas hukum dalam masyarakat baik sebagai sarana pengendalian sosial, saran pengubah masyarakat, dan sarana untuk mengatur interaksi sosial tertentu atau yang diharapkan.

Ruang Lingkup, Objek dan Karakteristik Sosiologi Hukum
Pola-pola perilaku hukum warga masyarakat. 
Hukum dan pola-pola perilaku sebagai ciptaan dan wujud dari kelompok sosial.
Hubungan timbal balik antara perubahan dalam hukum dan perubahan sosial serta budaya.

Weber disebut bapak sosiologi hukum modern, yang bekerja pada hukum secara ekstensif menggunakan metode sosiologis.

ilmu yang mempelajari fenomena hukum yang bertujuan memberikan penjelasan terhadap praktik "hukum"






Soerjono Soekanto Sosiologi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisa atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala lainnya. Sosiologi Hukum (sosiologi of law) adalah pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyarakat dalam konteks sosial.


Gambar oleh:
Photo by Armin Rimoldi









Share:

Sabtu, 27 Mei 2023

Sosiologi Hukum [26-05-23]

Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari perilaku hukum dari warga masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan gejala-gejala sosial lainnya (Soekanto, 1982).


Sosiologi hukum mengkaji hukum dalam wujudnya atau Government Social Control. Dalam hal ini, sosiologi mengkaji seperangkat kaidah khusus yang berlaku serta dibutuhkan, guna menegakkan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.




Pentingnya mempelajari Sosiologi Hukum adalah karena hukum secara sosiologis adalah penting dan merupakan suatu lembaga kemasyarakatan (social institution) yang merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia.


Weber disebut bapak sosiologi hukum modern, yang bekerja pada hukum secara ekstensif menggunakan metode sosiologis.


Sedangkan sosiologi hukum memandang hukum sebagai kenyataan sosial. Sosiologi hukum melihat apakah kenyataan di masyarakat benar-benar sesuai dengan apa yang dikatakan perundang-undangan. Kedua, positivisme hukum memandang hukum sebagai sesuatu yang otonom/mandiri.


Kegunaan Sosiologi Hukum adalah memberikan kemampuan pemahaman hukum dalam konteks sosial. Memberikan kemampuan untuk menganalisis efektifitas hukum dalam masyarakat baik sebagai sarana pengendalian sosial, saran pengubah masyarakat, dan sarana untuk mengatur interaksi sosial tertentu atau yang diharapkan.


Apa perbedaan ilmu hukum dan sosiologi hukum?

Ilmu hukum adalah studi lapangan normatif, sedangkan sosiologi hukum merupakan studi atau kajian yang bersifat empirik. Sehingga sosiologi hukum yang memberikan sumbangsi terhadap ilmu hukum dapat dkatakan pendekatan empirik terhadap hukum.


Sosiologi hukum untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh seseorang berkebangsaan Italia yang bernama Anzilotti pada tahun 1882. Sosiologi hukum pada hakikatnya lahir dari hasil-hasil pemikiran para ahli pemikir baik di bidang filsafat (hukum), ilmu hukum, maupun sosiologi (hukum).


Ruang Lingkup Sosiologi mencakup pengetahuan dasar pengkajian kemasyarakatan yang meliputi: 1. Kedudukan dan peran sosial individu dalam keluarga, kelompok sosial, dan masyarakat. 2. Nilai-nilai dan norma-norma sosial yang mendasari atau memengaruhi sikap dan perilaku anggota masyarakat dalam melakukan hubungan sosial.

Photo by Pixabay
Share:

Jumat, 28 April 2023

Hukum dan Konstitusi [29-04-23]

Ujaran Kebencian (Hate speech) adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku Pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut.

Ujaran kebencian biasanya menyangkut ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain. Ujaran kebencian dapat berupa penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, menghasut, menyebarkan berita bohong.

Dalam KUHP, ujaran kebencian berupa penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong. Warga yang merasa menjadi korban dapat melaporkan hal tersebut ke kepolisian.


Ketentuan UU ITE terkait ujaran kebencian, permusuhan dan SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan), terdapat pada Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2). Pasal 28 ayat (2) berbunyi: 

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. 

Pasal 28 ayat (2) ini tidak bisa dilepaskan dari Pasal 45A ayat (2) UU ITE yang mengatur sanksi pidananya. Terkait delik ujaran kebencian, UU ITE memang membagi dua bagian ketentuan. Pasal terkait perbuatan yang dilarang di satu bagian, dan ketentuan tentang sanksi pidana di bagian lainnya. 

Pasal 45A ayat (2) UU ITE berbunyi: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Dosen pengajar: Dr. Wayan Santoso, S.H., M.H.






Ketentuan yang terdapat pada Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU ITE dinyatakan dicabut oleh UU KUHP yang baru. Pasal itu kemudian diganti dan direformulasi menjadi Pasal 243 ayat (1) jo ayat (2) UU KUHP baru yang berbunyi: Pasal 243 ayat (1): 

“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi pernyataan perasaan permusuhan dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, terhadap satu atau beberapa golongan atau kelompok penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik yang berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.


Kedua, KUHP yang baru juga menetapkan pidana tambahan sebagaimana diatur pada Pasal 243 ayat (2) KUHP baru yang berbunyi: “Jika setiap orang sebagai mana dimaksud pada ayat (1) melakukan tindak pidana tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf f”. Pasal 86 huruf f mengatur pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu berupa pencabutan hak untuk menjalankan profesi tertentu.


Selain menerapkan pidana tambahan pada Pasal 243 ayat (2) UU KUHP juga menerapkan hukuman yang lebih rendah dibanding UU ITE. Sanksi yang semula berupa pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar dalam UU ITE, menjadi pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV dalam UU KUHP baru. Selain itu, frasa "terlihat oleh umum", "terdengar oleh umum", “…dengan sarana teknologi informasi, yang berisi pernyataan perasaan permusuhan dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum” pada Pasal 243 ayat (1) KUHP baru juga menekankan adanya unsur "public virtual".  Di samping itu harus dibuktikan adanya maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dari pelakunya. Hal ini penting, terutama untuk membedakan konten mana yang sifatnya sekadar komunikasi online antar individu, yang seringkali disebut “japri” dalam bentuk direct message, yang memang tidak dimaksudkan untuk diketahui umum, dan tindakan mana yang merupakan komunikasi publik dengan maksud untuk diketahui khalayak (public virtual). Jika yang dilakukan adalah hal terakhir, tentu dapat dikualifikasikan bahwa postingannya memang dimaksudkan untuk diketahui umum, atau sengaja disebarkan untuk konsumsi publik.


Photo by Pixabay


Share:
Jasaview.id

Arsip Blog

https://www.tiket.com/?twh=28335430

https://www.canva.com/join/tgg-czw-mlw

https://www.easycash.com/?twh=28335430

https://www.tokopedia.com/?twh=28335430

https://scholar.google.com/citations?user=sSo15lEAAAAJ
https://www.mendeley.com/?interaction_required=true
https://www.turnitin.com/
https://sinta.kemdikbud.go.id/
Web Hosting
https://unr.siakadcloud.com/gate/login