Media Belajar Bersama ~ Gak ada yang lebih keren dari orang yang mengejar impiannya

Sabtu, 02 Desember 2023

Hukum Adat [02-12-23]

Istilah Adat

Istilah “adat”,  berasal dari “adab” (bahasa Arab), pertama dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menunjuk kepada aturan kebiasaan yang selama ini telah ada dan untuk membedakannya dengan hukum yang bersumber dari agama (hukum syariah). 

Masing-masing daerah di Indonesia, memiliki istilah tersendiri, untuk menyebut adat, seperti: 

Aceh: Odot.

Lampung: Hadat.

Jawa Tengah/Timur: Ngadat.

Batak: Basa/Bicara.

Minangkabau: Adat Lembago.

Dayak: Mapupuh.

Bali: kerta, pala kerta, dresta, catur dresta, sima,tata krama, tata loka cara, awi-awig, perarem, geguwat, dll. 


Istilah Hukum Adat

Istilah “hukum adat”, pertama kali diperkenalkan  oleh C. Snouck Hurgronje, dengan nama “Adat Recht”,  dalam bukunya “De Atjehers”, yang terbit pada tahun 1892. Selanjutnya istilah ini  dipergunakan dan dipopulerkan oleh Van Vollenhoven.

Istilah tersebut sebenarnya untuk menyebut sistem pengendalian sosial (social control) yang tumbuh dan hidup di Indonesia. Adat recht adalah istilah yang paling mendekati untuk menyebut sistem pengendalian sosial yang hidup di Indonesia.

Resmi menjadi istilah yuridis tahun 1929 seperti tercantum dalam Indische Staatsregeling/I.S (1929) Pasal 134 ayat 2, baru dipergunakan istilah “hukum adat” (adattrecht).  


Istilah Adat dan Hukum Adat 

Memperhatikan pengertian hukum adat di atas dapat diketahui bahwa perbedaan “adat” dan “hukum adat”, merupakan konsepsi pemikiran para pemerhati/peneliti hukum adat/ahli hukum Barat. 

Pengertian “adat” dan “hukum adat” dibedakan berdasarkan sanksinya. Sanksi dalam “hukum adat” jelas/tegas, tidak demikian halnya dengan sanksi dalam “adat”.

Dalam kehidupan masyarakat hukum adat di Hindia Belanda (khususnya di Bali) kedua istilah itu dianggap sama.

Di Bali: awig-awig, perarem, geguat, kerta, pala kerta, dresta, catur dresta, sima, tata krama, tata loka cara, dll, pada awalnya dianggap sama. 


Pengertian Hukum Adat

Van Vollenhoven: hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan – peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat – ala kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.

Ter Haar: hukum adat lahir dari dan dipelihara oleh keputusan – keputusan, keputusan – keputusan para warga masyarkat hukum, terutama keputusan berwibawa dari kepala – kepala rakyat yang membantu pelaksanaan pernuatan hukum.

Soepomo: hukum adat adalah sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan – peraturan legislatif (unstatutory law), meliputi peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.

Sukanto: hukum adat adalah sebagai kompleks adat – adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, mempunyai akibat hukum.

Hasil seminar hukum adat dan pembinaan hukum nasional tanggal 15 s/d 17 Januari 1975 di Yogyakarta sebagai berikut : “hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tetulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang sana sini mengandung unsu agama.


Adat dan Hukum Adat Masih Perlukah pada Zaman Now?

Saya berpendapat masih tetap perlu diketahui, dimengerti, dipahami, dan diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat zaman now. Berikut beberapa alasannya.

Alasan Sosiologis: masih ada dan masih dihormati (ditaati) oleh masyarakatnya. Lebih-lebih lagi untuk di Bali. Dalam banyak hal, hukum adat Bali masih berlaku. Beberapa contoh, perkawinan, tanah, waris, dll.  

Alasan Yuridis: ada landasan yuridis yang jelas mengenai keberadaan hukum adat.

Alasan Filosofis: sejalan dengan pandangan hidup masyarakat dan Pancasila sebagai pandangan hukum bangsa Indonesia.


Alasan Yuridis

UUD 1945 (Sebelum Amendemen)

Pasal II Aturan Peralihan

Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini. 

Penjelasan UUD 1945

II. Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250  zelfberturende landschappen dan voksgemeeschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.  Daerah-daerah ini mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. 

Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara mengenai daerah-daerah itu  akan mengikuti hak-hak asal usul daerah tersebut. 


UUD NRI 1945 (Sesudah Amendemen)

Pasal 18B ayat (2)

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah  yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan ungang-undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan  perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indodnesia, yang diatur dalam undang-undang. 

Pasal 28I ayat (3)

(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. **)

Pasal 32

Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. ****)

Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. ****)


UU Nomor 1 Tahun 2023 Tentang KUHP

Pasal 1

(1) Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.

(2) Dalarn menetapkan adanya tindak pidana dilarang digunakan analogi.

Pasal 2

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.

(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.

(3) Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.


UU Nomor 1 Tahun 2023 Tentang KUHP

Pasal 1

(1) Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.

(2) Dalarn menetapkan adanya tindak pidana dilarang digunakan analogi.

Pasal 2

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.

(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.

(3) Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 64

Pidana terdiri atas:

a.  pidana pokok;

b. pidana tambahan; dan

c. pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang.


Pasal 65

(1) Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a terdiri atas:

a. pidana penjara;

b. pidana tutupan;

c. pidana pengawasan;

d. pidana denda; dan

e. pidana kerja sosial.

(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat atau ringannya pidana.


Pasal 66

(1) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf  b terdiri atas:

a. pencabutan hak tertentu;

b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;

c. pengumuman putusan hakim;

d. pembayaran ganti rugi;

e. pencabutan izin tertentu; dan

f. pemenuhan kewajiban adat setempat.


(2) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dapat dikenakan dalam hal  penjatuhan pidana pokok saja tidak cukup untuk mencapai tujuan pemidanaan.

(3) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhkan 1 (satu) jenis atau lebih.

(4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya.

(5) Pidana tambahan bagi anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana dalam perkara koneksitas dikenakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Tentara Nasional Indonesia.


Pasal 96

(1) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat diutamakan jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).

(2) Pemenuhan kewajiban adat setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda kategori II.

Pasal 79

(l) Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan:

a. kategori I, Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah);

b. kategori II, Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);

c. kategori III, Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);

d. kategori IV, Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);

e. kategori V, Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

f. kategori VI, Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);

g. kategori VII, Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan

h. kategori VIII, Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

(2) Dalam hal terjadi perubahan nilai uang, ketentuan besarnya pidana denda ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


Strategi Belajar/Memahami Hukum Adat

Van Vollenhoven[1] dalam orasinya pada tanggal. 2 Oktober 1901 mengemukakan bahwa untuk mengetahui dan memahami hokum adat, “….maka adalah terutama perlu diselidiki buat waktu apabilapun dan di daerah manapun juga bisa, sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu, hidup sehari-hari. Paling terasa gunanya mempelajari masyarakat adat itu, jikalau kita hendak memahami segala hubungan hukum dan tindakan hukum dibidang perkawinan menurut adat, dibidang pertalian sanak (keluarga) menurut adat dan dibidang waris menurut adat” (Soepomo, 1977: 41; Bushar Muhammad, 1994: 21). 

[1]  Seperti halnya V.E. Korn, Van Vollenoven (gurunya Ter Haar), juga seorang  intelektual berkebangsaan Belanda, yang pernah mengadakan penelitian kepustakaan tentang hukum adat di Indonesia, dan berhasil menjadikan hukum adat sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri di Universitas Leiden, Belanda. Oleh karena itu, Van Vollenoven dijuluki “Bapak Hukum Adat Indonesia”. 


Istilah Adat dan Hukum Adat Bali

Ada dua jenis masyarakat hukum adat yang paling dikenal di Bali, yaitu: “desa adat” dan “subak”. 

Telah dikemukakan bahwa dalam kehidupan masyarakat hukum adat di Bali (desa adat dan subak) pada awalnya istilah “adat” dan “hukum adat” dianggap sama, walaupun disebut dengan berbagai istilah, seperti: awig-awig, perarem, geguat, kerta, pala kerta, dresta, catur dresta, sima, tata krama, tata loka cara, dll, pada awalnya dianggap sama. 

Sejalan dengan perkembangan zaman, istilah-istilah itu mengalami perubahan, semakin mengerucut menjadi “hukum adat Bali”, “awig-awig” dan “perarem” . Muncul juga istilah “desa mawacara” dan “Bali mawacara”. 

Perubahan lainnya: “adat” dan “hukum adat Bali” pada akhirnya juga dibedakan berdasarkan sanksi yang menyertai mengikuti konsepsi pemikiran para pemerhati/peneliti hukum adat/ahli hukum Barat. Sanksi dalam “hukum adat Bali” jelas/tegas, tidak demikian halnya dengan sanksi dalam “adat Bali”. 

Ketentuan “adat” dan “hukum adat Bali” yang sebelumnya lebih banyak tidak tertulis, sekarang diusahakan lebih banyak tertulis. 



Dosen pengajar:

Prof. Dr. Wayan P. Windia





Photo by Tima Miroshnichenko

Share:

Jumat, 24 November 2023

Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi [24-11-23]

Peran hukum dalam pembangunan ekonomi sangat penting dan mencakup beberapa aspek kunci: 1. Perlindungan Hak Kekayaan dan Kontrak: Hukum memberikan kerangka kerja yang jelas dan terpercaya untuk melindungi hak kepemilikan, hak kekayaan intelektual, dan kontrak. Hal ini mendorong investasi dan inovasi dengan memberikan keyakinan kepada pelaku ekonomi bahwa hak-hak mereka akan dilindungi dan kontrak akan ditegakkan secara adil. 2. Regulasi dan Stabilitas: Hukum menyediakan regulasi yang membentuk kerangka kerja bagi bisnis. Regulasi yang tepat dan konsisten membantu mencegah monopoli, memastikan persaingan yang sehat, dan menciptakan lingkungan yang stabil untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang. 3. Penyelesaian Sengketa: Hukum menyediakan mekanisme untuk menyelesaikan sengketa dengan cara yang adil dan terstruktur. Sistem hukum yang efektif membantu mengurangi ketidakpastian dan risiko, memungkinkan pelaku ekonomi untuk berinvestasi tanpa khawatir terhadap konflik yang tidak terselesaikan.









Dosen pengajar:

Dr. Anak Agung Gede Agung Indra Prathama, S.H., M.H.

4. Pemajuan Inklusivitas Ekonomi: Hukum dapat menjadi alat untuk memastikan bahwa perkembangan ekonomi tidak hanya menguntungkan segelintir orang atau kelompok tertentu, tetapi juga menciptakan kesempatan yang lebih luas bagi seluruh masyarakat. Ini termasuk keadilan distributif, perlindungan terhadap eksploitasi, dan penegakan regulasi yang mengarah pada pertumbuhan inklusif. 5. Investasi dan Kepercayaan Investor: Hukum yang konsisten, transparan, dan efektif memainkan peran penting dalam menarik investasi. Investor cenderung lebih nyaman berinvestasi dalam lingkungan yang memiliki sistem hukum yang kuat dan dapat diandalkan. 6. Pematuhan Atas Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial: Hukum juga berperan dalam mendorong perilaku bisnis yang etis dan bertanggung jawab secara sosial. Melalui regulasi dan penegakan hukum, praktik-praktik yang merugikan masyarakat atau lingkungan dapat dicegah atau ditekan. Dengan memainkan peran ini, hukum menjadi dasar yang memungkinkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, adil, dan terstruktur. Itu membuat lingkungan di mana bisnis bisa berkembang, inovasi didorong, dan masyarakat dapat menikmati manfaat dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.


Photo by Tranmautritam

Share:

Selasa, 21 November 2023

Uji Kelayakan Proposal Penelitian Tesis [22-11-23]

Proposal Tesis adalah tulisan yang berisi rancangan atau rencana penelitian yang sesuai dengan kaidah-kaidah metodologi dan penulisan ilmiah untuk memperoleh gelar akademik jenjang magister.

Bagian utama atau tubuh tesis terdiri dari beberapa bab, yaitu: Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Metoda Penelitian, Hasil Penelitian dan Pembahasan, dan Simpulan, Keterbatasan, dan Implikasi.

Sidang proposal tesis ini merupakan kegiatan kajian ilmiah, yang berisi uji kelayakan, verifikasi, penajaman permasalahan dan metodologi terhadap proposal tesis yang diajukan.

Sidang uji kelayakan proposal tesis adalah tahap penting dalam proses penelitian tesis. Ini adalah pertemuan di mana mahasiswa yang sedang menyelesaikan program pascasarjana harus mempertahankan rencana penelitian mereka di hadapan panel penguji. Tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan bahwa proposal tesis mereka layak untuk dilaksanakan sebagai proyek penelitian yang serius dan dapat memberikan kontribusi pada bidang studi yang relevan. Panel penguji biasanya terdiri dari dosen-dosen atau pakar di bidang yang berkaitan dengan topik tesis tersebut.

Dosen Penguji:

Dr. Cokorde Istri Dian Laksmi Dewi, S.H., M.H. Dr. Karyoto, S.H., M.H., M.M.

Selama sidang uji kelayakan, mahasiswa akan menjelaskan latar belakang penelitian, tujuan, pertanyaan penelitian, metodologi yang akan digunakan, dan tinjauan pustaka yang mendukung rencana penelitian mereka. Penguji akan memberikan pertanyaan, masukan, atau kritik terhadap proposal tersebut. Hasil dari sidang ini bisa berupa persetujuan, saran perbaikan, atau bahkan penolakan jika proposal tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh program atau lembaga pendidikan terkait.

Photo by Sora Shimazaki

Share:

Jumat, 17 November 2023

Peran Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi [17-11-23]

Peran hukum dalam pembangunan ekonomi sangat penting karena menciptakan kerangka kerja yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan stabil. Berikut beberapa peran utama hukum dalam konteks pembangunan ekonomi:

Perlindungan Hak dan Kepemilikan

Hukum memberikan perlindungan terhadap hak milik, hak kekayaan intelektual, kontrak, dan hak asasi lainnya. Hal ini penting untuk menciptakan kepastian hukum bagi individu, perusahaan, dan investor sehingga mereka merasa aman dalam berinvestasi dan berusaha.

Regulasi Ekonomi

Hukum mengatur aktivitas ekonomi melalui regulasi yang membatasi monopoli, mencegah praktik bisnis yang tidak adil, serta menetapkan standar keselamatan dan lingkungan yang harus dipatuhi oleh perusahaan.

Pembangunan Infrastruktur Hukum

Sistem hukum yang kuat dan efisien diperlukan untuk memastikan penegakan hukum yang adil, akses terhadap peradilan yang cepat, serta penyelesaian sengketa yang efektif. Hal ini memberikan kepastian bagi pelaku ekonomi dalam menyelesaikan konflik bisnis.



Dosen pengapu:  
Dr. Ni Made Anggia Paramesthi Fajar, S.H., M.H.

Pendorong Inovasi dan Pertumbuhan

Hukum dapat mendorong inovasi melalui perlindungan hak kekayaan intelektual, yaitu dengan memberikan insentif kepada individu atau perusahaan untuk menciptakan dan mengembangkan ide baru.

Pengaturan Pasar Keuangan

Hukum mengatur pasar keuangan untuk memastikan transparansi, integritas, dan stabilitas dalam aktivitas keuangan. Ini membantu mengurangi risiko kegagalan pasar dan krisis keuangan.

Pemajuan Keadilan Sosial

Hukum juga dapat digunakan untuk memperjuangkan keadilan sosial, memastikan distribusi kekayaan yang lebih adil, dan memberikan kesempatan ekonomi kepada semua lapisan masyarakat.

Dengan memiliki kerangka hukum yang kuat dan berfungsi baik, sebuah negara dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, investasi yang berkelanjutan, serta pembangunan yang inklusif bagi seluruh masyarakat.

Ilmu hukum memengaruhi pembangunan kehidupan ekonomi melalui beberapa konsep utama yang menjadi dasar dalam konteks hukum ekonomi. Berikut enam konsep tersebut:

1. Kepastian Hukum (Legal Certainty)

Kepastian hukum adalah konsep yang menekankan bahwa hukum harus jelas, stabil, dan dapat diprediksi. Dalam konteks ekonomi, kepastian hukum memastikan bahwa aturan yang mengatur kontrak, kepemilikan, investasi, dan bisnis lainnya dapat dipahami dan diandalkan. Hal ini penting bagi pelaku ekonomi agar bisa merencanakan kegiatan ekonomi mereka dengan keyakinan atas keamanan hukum.

2. Perlindungan Hak Kekayaan (Property Rights)

Konsep ini menekankan perlunya perlindungan hukum terhadap hak milik dan hak kekayaan intelektual individu atau perusahaan. Dengan hak kekayaan yang dilindungi, individu atau perusahaan merasa aman dalam berinvestasi, mengembangkan produk, dan menciptakan inovasi, yang pada gilirannya mendukung pertumbuhan ekonomi.

3. Keadilan dalam Distribusi (Fairness in Distribution)

Hukum ekonomi juga membahas bagaimana kekayaan, sumber daya, dan hasil ekonomi didistribusikan secara adil di dalam masyarakat. Prinsip keadilan ini berpengaruh pada regulasi pajak, subsidi, kebijakan redistribusi, dan program-program sosial lainnya yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan ekonomi yang lebih merata.

4. Pasar Bebas (Free Markets)

Konsep pasar bebas dalam hukum ekonomi menekankan pentingnya persaingan yang sehat dan minim intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar. Namun, regulasi diperlukan untuk mencegah monopoli, praktek bisnis yang tidak adil, dan kegagalan pasar yang bisa merugikan konsumen atau masyarakat.

5. Keharmonisan Hukum (Legal Harmony)

Konsep ini menekankan bahwa hukum-hukum yang terkait dalam konteks ekonomi haruslah konsisten dan harmonis satu sama lain. Ini berarti hukum-hukum yang berbeda, seperti hukum kontrak, hukum perusahaan, dan hukum pajak, harus saling mendukung dan tidak bertentangan.

6. Efisiensi Hukum (Legal Efficiency)

Konsep ini berfokus pada penggunaan hukum dengan cara yang paling efisien dan efektif dalam mencapai tujuan ekonomi tertentu. Hal ini berkaitan dengan bagaimana hukum diterapkan, bagaimana proses hukum berlangsung, serta bagaimana hukum memberikan solusi yang tepat dalam menyelesaikan sengketa ekonomi.

Keenam konsep ini saling terkait dan memainkan peran penting dalam membentuk kerangka hukum yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang berkelanjutan dan seimbang.


Terdapat beberapa unsur yang perlu dikembangkan agar tidak menghambat pertumbuhan ekonomi. Ini termasuk:

1. Kestabilan Politik dan Hukum Kestabilan politik: Ketidakpastian politik sering kali mengganggu kegiatan bisnis dan investasi. Membangun stabilitas politik yang kuat dan konsisten membantu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Kepastian hukum: Sistem hukum yang jelas, stabil, dan dapat diprediksi memberikan keyakinan kepada pelaku ekonomi bahwa kontrak akan ditepati dan hak-hak mereka akan dilindungi. Ini mendorong investasi dan kegiatan bisnis yang lebih besar. 2. Infrastruktur yang Kuat Jaringan transportasi dan komunikasi: Infrastruktur yang baik meningkatkan efisiensi dalam distribusi barang dan layanan, mengurangi biaya logistik, dan memperluas akses pasar. Energi dan teknologi: Akses yang andal dan terjangkau terhadap energi bersih dan teknologi canggih memungkinkan inovasi dan produktivitas yang lebih besar dalam berbagai sektor ekonomi. 3. Pendidikan dan Keterampilan Pendidikan yang berkualitas: Investasi dalam pendidikan memberikan keahlian dan pengetahuan yang diperlukan bagi angkatan kerja untuk beradaptasi dengan perubahan teknologi dan permintaan pasar. Pelatihan dan pengembangan keterampilan: Program pelatihan yang efektif membantu meningkatkan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri dan mempersiapkan tenaga kerja untuk bekerja dalam sektor-sektor yang berkembang. 4. Regulasi yang Seimbang Lingkungan regulasi yang kondusif: Regulasi yang cerdas dan seimbang diperlukan untuk memastikan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat dan lingkungan sambil tetap mendukung inovasi dan pertumbuhan bisnis. Ketidakbuntuan birokrasi: Proses birokrasi yang berlebihan dan lambat dapat menghambat kemampuan bisnis untuk bergerak dengan cepat. Memangkas birokrasi yang tidak perlu dapat meningkatkan efisiensi. 5. Kemitraan Publik-Swasta yang Kuat Kerjasama antara sektor publik dan swasta: Kolaborasi yang efektif antara pemerintah, perusahaan, dan lembaga non-pemerintah dapat menghasilkan inisiatif bersama untuk pembangunan infrastruktur, peningkatan keterampilan, dan inovasi teknologi.


Investasi swasta yang diarahkan pada pembangunan: Dorongan bagi sektor swasta untuk berinvestasi dalam proyek-proyek yang mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang, seperti infrastruktur, penelitian, dan pengembangan. Dengan mengembangkan dan memperkuat unsur-unsur ini, sebuah negara dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif bagi masyarakatnya. Hukum ekonomi dan hukum bisnis adalah dua bidang hukum yang berbeda namun saling terkait dalam konteks ekonomi dan bisnis. Berikut perbedaan antara keduanya: Hukum Ekonomi Definisi: Hukum ekonomi mencakup serangkaian aturan hukum dan regulasi yang mengatur aktivitas ekonomi dalam suatu negara atau wilayah. Fokus utamanya adalah pada aspek-aspek ekonomi dalam kehidupan sosial, termasuk regulasi pasar, kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan keadilan distribusi ekonomi. Cakupan Topik: Regulasi Pasar: Meliputi undang-undang antitrust untuk mencegah monopoli, regulasi harga, dan undang-undang perlindungan konsumen. Kebijakan Fiskal dan Moneter: Melibatkan peraturan-peraturan terkait pajak, pengeluaran pemerintah, kebijakan uang, dan kebijakan bank sentral. Keadilan Distribusi: Menyelidiki cara untuk mencapai distribusi yang lebih adil dalam kekayaan dan sumber daya.\

Hukum Bisnis

Definisi: Hukum bisnis berkaitan dengan aturan hukum yang mengatur interaksi dan transaksi antara individu, perusahaan, dan entitas bisnis lainnya. Fokusnya lebih terbatas pada transaksi komersial, pembentukan perusahaan, kontrak, dan tanggung jawab bisnis. Cakupan Topik: Bentuk-Bentuk Bisnis: Termasuk hukum perusahaan, seperti pembentukan perusahaan, kepemilikan, manajemen, dan tanggung jawab hukum perusahaan. Kontrak: Mengatur pembuatan, interpretasi, dan pelaksanaan kontrak antara pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan bisnis. Tanggung Jawab Bisnis: Termasuk aspek hukum terkait tanggung jawab sosial perusahaan, kewajiban terhadap karyawan, lingkungan, dan masyarakat.

Perbedaan Utama: Cakupan Topik: Hukum ekonomi lebih luas, mencakup aspek regulasi ekonomi dan kebijakan pemerintah yang lebih besar, sementara hukum bisnis lebih fokus pada transaksi bisnis dan aspek hukum yang berkaitan dengan entitas bisnis. Fokus dan Tujuan: Hukum ekonomi bertujuan untuk mengatur dan mengendalikan aktivitas ekonomi dalam masyarakat, sementara hukum bisnis lebih berfokus pada pengaturan interaksi bisnis dan hak-hak pihak terlibat dalam transaksi bisnis. Meskipun terdapat perbedaan dalam cakupan dan fokusnya, kedua bidang hukum ini saling terkait dan saling memengaruhi. Hukum bisnis sering kali menjadi bagian dari kerangka hukum ekonomi yang lebih luas.

Foto oleh Oladimeji Ajegbile




Share:

Senin, 13 November 2023

Hukum Adat [11-11-23]

Hukum adat merujuk pada seperangkat norma-norma, nilai-nilai, dan aturan-aturan yang diterapkan dan dihormati oleh suatu masyarakat atau kelompok tertentu. Hukum adat umumnya tumbuh dan berkembang dalam suatu komunitas sepanjang waktu dan mencerminkan nilai-nilai, tradisi, dan norma-norma budaya masyarakat tersebut.

Berbeda dengan hukum positif atau hukum formal yang dihasilkan melalui proses legislatif atau sistem perundang-undangan tertentu, hukum adat bersifat tidak tertulis dan sering kali ditransmisikan secara lisan atau melalui praktek-praktek tradisional. Hukum adat cenderung mencakup aspek-aspek kehidupan sehari-hari, seperti pernikahan, warisan, pertanian, dan hubungan sosial.

Setiap kelompok etnis atau komunitas memiliki hukum adatnya sendiri yang unik dan berbeda-beda. Meskipun demikian, hukum adat sering kali menjadi bagian integral dari identitas budaya suatu kelompok dan dapat berperan dalam menjaga keseimbangan sosial dan harmoni di dalam masyarakat tersebut.

Penting untuk dicatat bahwa di banyak negara, hukum adat dapat berdampingan atau bersentuhan dengan hukum nasional atau hukum formal. Pada beberapa kasus, hukum adat diakui oleh negara dan diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional, sedangkan pada kasus lain, mungkin terdapat ketegangan atau konflik antara hukum adat dan hukum nasional.

Hukum adat memiliki ciri-ciri, sifat, dan corak tertentu yang membedakannya dari hukum formal atau hukum positif. Namun, perlu diingat bahwa ciri-ciri ini dapat bervariasi di antara masyarakat adat yang berbeda. Berikut adalah beberapa ciri umum hukum adat:

  1. Tidak Tertulis: Hukum adat umumnya tidak tertulis. Aturan dan norma-norma ini sering kali disampaikan melalui tradisi lisan, ritual, dan praktik-praktik budaya. Ketergantungan pada lisanitas dapat membuat hukum adat lebih fleksibel dan dapat beradaptasi dengan perubahan dalam masyarakat.
  2. Tradisional dan Kultural: Hukum adat mencerminkan nilai-nilai, norma-norma, dan tradisi budaya suatu kelompok masyarakat. Ini mencakup aspek-aspek seperti adat istiadat, upacara keagamaan, dan sistem nilai yang dipegang oleh komunitas tersebut.
  3. Bertumpu pada Komunitas: Hukum adat lebih fokus pada kebutuhan dan nilai-nilai komunitas daripada pada individu. Prinsip-prinsip kebersamaan, solidaritas, dan keseimbangan sosial sering kali menjadi dasar hukum adat.
  4. Elastis dan Dinamis: Hukum adat cenderung bersifat elastis dan dapat beradaptasi dengan perubahan dalam masyarakat. Ini bisa tercermin dalam proses-proses konsultasi atau musyawarah yang melibatkan tokoh-tokoh adat atau komunitas dalam membuat keputusan atau menyelesaikan konflik.
  5. Penyelenggaraan Oleh Otoritas Adat: Penegakan hukum adat sering kali dilakukan oleh otoritas adat atau tokoh-tokoh yang dihormati dalam masyarakat. Mereka dapat menjadi mediator dalam menyelesaikan konflik, menentukan sanksi, atau menjalankan fungsi-fungsi hukum adat lainnya.
  6. Melibatkan Ritual dan Simbolisme: Hukum adat sering kali terkait erat dengan ritual dan simbolisme budaya. Keputusan hukum adat dapat diiringi oleh upacara-upacara tertentu atau tindakan-tindakan simbolis yang memiliki makna dalam konteks budaya masyarakat tersebut.
  7. Pengaturan Urusan Internal: Hukum adat cenderung mengatur urusan internal suatu komunitas, seperti pernikahan, warisan, dan konflik interpersonal. Hukum adat mungkin kurang terlibat dalam pengaturan urusan eksternal yang berkaitan dengan negara atau pihak ketiga.

Perlu dicatat bahwa dengan adanya globalisasi dan interaksi antarbudaya, beberapa masyarakat adat dapat mengalami perubahan dalam struktur hukum adat mereka. Dalam beberapa kasus, hukum adat dapat berinteraksi atau bahkan bertentangan dengan hukum nasional atau sistem hukum lainnya.





Di Indonesia, hukum adat diatur oleh beberapa peraturan perundang-undangan yang mencerminkan pengakuan terhadap keberagaman budaya dan masyarakat adat di negara ini. Beberapa aturan yang mengatur hukum adat di Indonesia antara lain:

  1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM): Pasal 18 UU HAM mengakui dan menjamin hak masyarakat adat untuk mempertahankan dan mengembangkan budaya mereka. Hal ini mencakup hak atas tanah adat dan sumber daya alam yang dimanfaatkan secara tradisional.
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Agraria): UU Agraria mengakui hak masyarakat adat atas tanah adat mereka. Meskipun demikian, implementasi hak-hak ini sering kali kompleks dan dapat melibatkan konflik dengan regulasi nasional terkait penggunaan lahan.
  3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda): UU Pemda memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengakomodasi keberagaman budaya dan hukum adat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah.
  4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan): UU Kehutanan mengakui hak masyarakat adat atas hutan adat mereka dan memberikan landasan hukum untuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
  5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda): Pasal 251 UU Pemda memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk melibatkan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya.
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pendaftaran Tanah (PP Pendaftaran Tanah): PP Pendaftaran Tanah mengatur tentang proses pendaftaran tanah masyarakat adat, yang dapat menjadi langkah untuk mengakui dan melindungi hak tanah masyarakat adat.
  7. Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 tentang Pengakuan Hukum dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (Keppres 41/2004): Keppres ini memberikan dasar hukum bagi pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat dan memberikan landasan untuk perlindungan dan pembinaan masyarakat hukum adat.
  8. Meskipun ada upaya untuk mengakui hak-hak masyarakat adat dalam perundang-undangan, implementasinya belum selalu berjalan lancar dan sering kali dihadapi oleh berbagai tantangan, termasuk konflik kepentingan dengan pihak lain serta belum optimalnya mekanisme perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Foto by: olia danilevich
Share:

Jumat, 27 Oktober 2023

Kriminologi dan Victimologi [27-10-23]

Persamaan dan Perbedaan Kriminologi dengan Hukum Pidana

Perlu diketahui masing-masing pengertian dari kriminologi (criminology) dan hukum pidana (criminal law) sebagaimana penjelasan di bawah ini, yaitu sebagai berikut:

Kriminologi (Criminology) 
Secara etimologi kata kriminologi (Hari Saherodji, 1980:9) berasal dari kata crime dan logos. Crime memiliki arti sebagai kejahatan sedangkan logos memiliki arti sebagai ilmu pengetahuan. Kriminologi merupakan suatu disiplin ilmu sosial yang mempelajari kejahatan atau tindak pidana dari sisi sosial atau istilah yang dikenal dengan sebutan non normative discipline. Hal mana dalam kriminologi itu sendiri mempelajari manusia dalam pertentangannya dengan norma-norma sosial tertentu sehingga dapat diketahui gejala-gejala sosial atas kejahatan yang terjadi di lingkungan masyarakat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kriminologi mencari sebab timbulnya suatu kejahatan. Adapun ruang lingkup kajian kriminologi yang tidak hanya mencari sebab terjadinya kejahatan, akan tetapi memiliki beberapa ruang lingkup yang terdiri dari: 
1.Orang yang melakukan kejahatan; 
2.Penyebab melakukan kejahatan; 
3.Mencegah tindak kejahatan; dan 
4.Cara-cara menyembuhkan orang yang telah melakukan kejahatan. 

Khususnya di negara-negara Anglo Saxon, kriminologi dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yang terdiri dari:
Criminal Biology
Pada bagian ini menyelidiki dalam diri orang itu sendiri akan sebab-sebab dari perbuatannya, baik dalam jasmani maupun rohaninya. 

Criminal Sosiology
Pada bagian ini mencoba mencari sebab-sebab terjadinya kejahatan dalam lingkungan masyarakat tempat di mana pelaku kejahatan tersebut berada. 

Criminal Policy
Pada bagian ini kebijakan atau tindakan-tindakan apa yang sekiranya harus dilakukan agar supaya orang lain tidak berbuat kejahatan.

Pengertian Kriminologi
Secara Etimologi kata kriminologi (Hari Saherodji, 1980: 9) berasal dari kata crime dan logos. Crime jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti kejahatan sedangkan logos jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti ilmu pengetahuan. 

Kriminologi (criminology) mempelajari kejahatan dari segala sudut pandang terkhususnya terhadap kejahatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Adapun untuk pelaku kejahatan pada kriminologi dibahas dari 2 (dua) segi, yaitu:
1..Penyebab atau motif seseorang melakukan kejahatan; dan
2.  Kategori pelaku kejahatan sebagaimana tipe-tipe penjahat.




Dosen: Dr. Wayan Santoso, SH., MH

Penyebab Seseorang Melakukan Kejahatan
Hal mana untuk mengetahui sebab perilaku menyimpang (tindak kejahatan) dan perilaku dari penjahat ini lebih sering menggunakan aliran kriminologi yang positif. Aliran ini memiliki maksud dan tujuan supaya nantinya sebab dan akibat dari perilaku kejahatan seseorang bisa diketahui dan dibedakan dari berbagai aspek yang dapat dimulai dari:
1.  Aspek Psikologis;
2.  Aspek Sosio-Kultural; dan
3.  Aspek Biologis.

Kategori pelaku kejahatan sebagaimana tipe-tipe penjahat
Adapun kejahatan memiliki ciri dan kriteria perilaku atau perbuatan yang dilakukan dipelajari dari undang-undang hukum pidana. Hal ini diartikan bahwa tindak pidana atau kejahatan merupakan tindakan yang menyimpang dan tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat serta tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. 

Kemudian kriminologi juga mempelajari reaksi atau respon masyarakat terhadap kejahatan yang terjadi, hal mana kriminologi mempelajari hal tersebut sebagai salah satu upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan yang timbul di lingkungan masyarakat. 

Adapun kriminologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang objek kajiannya adalah kejahatan yang pada dasarnya merupakan suatu gejala sosial yang timbul dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut kriminologi dapat dikatakan sebagai suatu disiplin ilmu yang bersifat faktual.

Pengertian Kriminologi berdasarkan Pendapat Para Ahli

Hari Saherodji
Pengertian kriminologi menurut pendapat yang dikemukakan oleh Hari Saherodji (1980:9) menyatakan bahwa kriminologi mengandung pengertian yang sangat luas. Hal tersebut dikatakan sangat luas oleh beliau dikarenakan dalam mempelajari kejahatan tidak dapat lepas dari pengaruh dan sudut pandang yang memandang kriminologi dari sudut perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.

P. Topinard
Kemudian P. Topinard menyatakan pendapatnya bahwa ilmu kriminologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejahatan secara khusus dan dari beragam aspek. Adapun P. Topinard sendiri merupakan salah satu ahli antropologi yang berasal dari negara Perancis yang menyatakan hal mengenai ilmu kriminologi pertama kali.

L. Moeljatno
Adapun L. Moeljatno (1986: 6) menyatakan pendapatnya bahwa kriminologi (criminology) merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan dan kelakuan buruk serta mempelajari mengenai orang yang terlibat pada kedua hal tersebut. Lebih lanjut L. Moeljatno mengemukakan pendapatnya bahwa kriminologi merupakan:
“sebagai suatu istilah global atau umum untuk suatu lapangan ilmu pengetahuan yang sedemikian rupa dan beraneka ragam, sehingga tidak mungkin dikuasai oleh seorang ahli saja.”

Wilhelm Sauer
Sementara menurut Wilhelm Sauer (L. Moeljatno, 1986: 3) bahwa kriminologi (criminology) adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang dilakukan oleh individu dan bangsa-bangsa yang berbudaya. Oleh sebab itu, Wilhelm Sauer menjelaskan obyek penelitian kriminologi terdiri dari 2 (dua) obyek, yaitu:
1.  Perbuatan Individu (Tat und Tater); dan
2.  Perbuatan Kejahatan (Crime).

Van Bemmelen
Van Bemmelen (L. Moeljatno, 1986: 3) menyatakan pendapatnya bahwa kriminologi mempelajari interaksi yang ada antara kejahatan dengan perwujudan lain dari kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, kriminologi dapat dikatakan merupakan bagian dari ilmu tentang kehidupan bermasyarakat yang terdiri dari ilmu sosiologi dan ilmu biologi. Hal ini disebabkan karena manusia merupakan makhluk hidup.

Thorsten Sellin
Menurut salah satu ahli yang berasal dari Amerika Serikat Thorsten Sellin (L. Moeljatno, 1986: 3), mengemukakan pendapatnya bahwa istilah kriminologi (criminology) di Amerika Serikat dipakai untuk menggambarkan ilmu tentang penjahat dan cara penanggulangannya (treatment).

Sutherland
Sutherland (L. Moeljatno, 1986: 4) mengemukakan bahwa kriminologi sebagai keseluruhan ilmu-ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kejahatan sebagai suatu gejala sosial masyarakat (the body of knowledge regarding crimeas a social phenomenon) yang meliputi:
1. Cara proses membuat undang-undang;
2. Pelanggaran terhadap undang-undang; dan
3. Reaksi terhadap pelanggaran-pelanggaran ini, hal mana merupakan 3 (tiga) segi pandangan atau aspek dari suatu rangkaian hubungan timbal balik yang sedikit banyaknya merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Selanjutnya Sutherland menjelaskan kriminologi dibagi menjadi 3 (tiga) cabang ilmu utama, yaitu: 

Sosiologi Hukum
Dalam hal ini menjelaskan kejahatan merupakan perbuatan yang oleh hukum dilarang dan diancam dengan suatu sanksi. Berdasarkan hal tersebut kemudian menentukan bahwa suatu perbuatan itu merupakan kejahatan adalah hukum. Adapun pada cabang ini menyelidiki 2 (dua) hal, yaitu:
1.  Sebab-sebab kejahatan; dan
2.  Faktor-faktor yang menyebabkan perkembangan hukum khususnya perkembangan pada hukum pidana.

Etiologi Hukum
Cabang ini merupakan cabang ilmu kriminologi yang mencari sebab akibat dari kejahatan yang dalam kriminologi, etiologi kejahatan merupakan kajian yang paling utama.

Penologi (Penology)
Pada dasarnya penologi merupakan ilmu tentang hukuman, akan tetapi Sutherland pada cabang ini memasukkan hak-hak yang berhubungan dengan usaha pengendalian kejahatan seperti:
Pengendalian secara Represif dan Pengendalian secara Represif Preventif.

W. A. Bonger
Sedangkan W.A. Bonger (Hari Saherodji, 1980: 9) menyatakan pendapatnya mengenai pengertian kriminologi sebagai: “ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas - luasnya”.

Melalui definisi ini, W.A. Bonger kemudian membagi kriminologi menjadi kriminologi murni yang mencakup:
1. Antropologi Kriminal (Anthropology Kriminil);
2. Sosiologi Kriminal (Sociology Kriminil);
3. Psikologi Kriminal (Psychologi Kriminil);
4. Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminal (Psychopathology and Neuropathology Kriminil);
5. Penologi (Penology); dan
6. Kriminalistik (Criminalistic).

Antropologi Kriminal
Antropologi kriminal atau yang biasa dikenal dengan sebutan anthropology kriminil, yakni ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat yang merupakan suatu bagian dari ilmu alam.

Sosiologi Kriminal
Sosiologi kriminal atau yang biasa dikenal dengan sebutan sociology kriminil, yakni ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat yang pada pokoknya tentang sampai dimana letak sebab-sebab kejahatan dalam masyarakat (etiologi sosial) dalam arti luas juga termasuk penyelidikan mengenai keadaan psikologi (psychology).

Psikologi Kriminal
Psikologi kriminal atau yang biasa dikenal dengan sebutan psychologi kriminil yakni ilmu pengetahuan tentang kejahatan dipandang dari sudut ilmu jiwa dari orang-orang seperti di pengadilan sebagai saksi, pembela dan lain-lain serta tentang pengakuan seseorang sebagai contohnya:
Penyelidikan mengenai jiwa dari penjahat yang dapat ditujukan semata-mata pada kepribadian perseorangan yang apabila dibutuhkan dalam persidangan untuk memberi penerangan pada hakim mengenai penyusunan tipologi atau golongan penjahat;
Penyelidikan mengenai gejala-gejala yang nampak pada kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok; dan
Penyelidikan psychology kriminil atau sosial mengenai repercussis yang disebabkan oleh perbuatan tersebut dalam pergaulan hidup yang tak boleh dilupakan.

Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminal
Psikopatologi dan neuropatologi kriminal atau yang biasa dikenal dengan sebutan psychopathology and neuropathology kriminil, yakni merupakan ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dihinggapi sakit jiwa atau sakit urat syaraf.

Penologi
Penologi atau yang biasa dikenal dengan sebutan penology, yakni merupakan ilmu pengetahuan tentang timbul dan tumbuhnya hukuman serta arti dan faedahnya.

Kriminalistik
Kriminalistik atau yang biasa dikenal dengan sebutan criminalistic merupakan ilmu pengetahuan untuk dilaksanakan yang menyelidiki teknik kejahatan dan pengusutan kejahatan yang merupakan gabungan ilmu jiwa tentang:
1.  Kejahatan (crime);
2.  Penjahat (criminals);
3.  Ilmu Kimia (chemistry);
4.  Pengetahuan tentang Barang-Barang;
5.  Grafologi (Graphology);
6.  dan lain-lain.


Pengertian Kriminologi dalam Arti Sempit dan Luas

Pengertian Kriminologi dalam Arti Sempit
Kriminologis bisa diartikan secara sempit sebagai pendapat yang dikemukakan salah satu ahli hukum Prof. Romli Antasasmita, hal mana beliau mengartikan kriminologi sebagai suatu kejahatan. Akan tetapi jika ditelusuri secara keilmuan, kriminologi mempelajari mengenai bentuk dan contoh dari suatu perilaku kriminal dengan kategori tertentu sehingga akan bisa didapatkan secara pasti mengenai batasan hukum yang berlaku di masyarakat dengan harapan akan terjadi keadilan hukum.

Adanya hal ini memberikan harapan ke depannya supaya bisa mencapai keseragaman dalam menerapkan ilmu kriminologi ke dalam masyarakat dan juga diharapkan bisa memiliki studi ilmu kriminologi dengan objek yang bisa dengan mudah dikembangkan seperti salah satu contohnya menggunakan latar belakang dari perumusan yuridis yang tidak terikat.

Pengertian Kriminologi dalam Arti Luas
Dalam arti luas, kriminologi merupakan ruang lingkup yang mempelajari tentang penologi (penology). Adapun pengertian mengenai penologi itu sendiri merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tentang hukuman dan juga sebuah ilmu yang mempelajari mengenai metode yang sesuai dengan berbagai tindakan yang memiliki sifat non punitif.

Adapun Walters C. Recless pada buku karyanya yang berjudul "The Crime Problem" menyatakan bahwa ruang lingkup ilmu kriminologi terdiri dari 10 (sepuluh) ruang lingkup sebagaimana disebutkan di bawah ini, yakni:
1.  Kriminologi memiliki pengertian sebagai ilmu yang mempelajari tentang kejahatan secara mendalam yang mencakup: 
Apakah kejahatan yang telah dilakukan akan dilaporkan kepada badan resmi atau yang berwenang;  Bagaimana badan resmi tersebut menanggapi laporan tentang pelaporan atas kejahatan yang telah dilakukan; dan 
Bagaimana proses tindakan dari badan resmi atau yang memiliki wewenang dalam menangani laporan tersebut.

2. Kriminologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang perkembangan dan perubahan hukum pidana di dalam masyarakat. Adapun ilmu ini memiliki hubungan dengan nilai ekonomi dan politik yang mengikutsertakan tanggapan dalam bermasyarakat.

3. Kriminologi merupakan suatu ilmu yang secara fokus mempelajari tentang keadaan penjahat di dalam masyarakat dengan cara membandingkan jumlah antara penjahat dan bukan di lingkungan tersebut yang kemudian membaginya ke dalam beberapa golongan dengan berdasarkan:
Jenis Kelamin (Gender), Kebangsaan (Nationality), Ras, Kedudukan Sosial dan Keadaan Ekonomi.

4. Kriminologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang daerah dan wilayah yang erat kaitannya dengan jumlah kejahatan yang terjadi pada daerah tersebut. Dalam ilmu ini juga mempelajari dan mengkaji mengenai bentuk kejahatan yang terjadi secara fisik seperti contohnya:

Pada wilayah pelabuhan akan terjadi kasus kejahatan seperti kasus penyelundupan orang atau barang; dan 
Pada lingkungan pejabat akan terjadi kejahatan berupa :Kasus Suap (bribe) dan Kasus Korupsi (corruption).

5. Kriminologi merupakan suatu ilmu yang akan memberikan kejelasan mengenai gambaran yang mengacu pada berbagai faktor penyebab terjadinya kejahatan dengan diperkuat teori dan pengajaran yang jelas mengenai kejahatan di kriminologi.

6. Kriminologi mempelajari mengenai berbagai perilaku yang mengarah pada kejahatan yang selanjutnya akan diwujudkan secara istimewa. Terdapat berbagai tindakan yang termasuk ke dalam kelainan pada pelaku kejahatan bahkan pada kasus kejahatan di era modern saat ini seperti:
Pembobolan Mesin ATM (Automatic Teller Machine/ Anjungan Tunai Mandiri);
Tindak Pidana Pencucian uang (TPPU);
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor);
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO);
Suap (Bribe);
Gratifikasi (Gratification); dan
Pembajakan Pesawat atau Kapal.

7. Kriminologi merupakan suatu ilmu yang secara mendalam mempelajari tentang berbagai hal yang berhubungan dengan kejahatan seperti:
Prostitusi (Prostitution);
Perjudian (Gambling);
Narkoba (Drugs);
Obat Terlarang; dan
Minuman Keras.

8. Kriminologi merupakan suatu keilmuan yang mengkaji lebih dalam lagi seperti apakah perundang-undangan dan badan penegak hukum sudah bisa bekerja secara efektif dalam masyarakat.

9. Kriminologi merupakan suatu ilmu yang mengkaji mengenai manfaat dari lembaga dan badan yang berfungsi untuk menangkap, menahan, mengadili dan menghukum pelaku tindak pidana atau pelaku kejahatan.

10. Kriminologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang kejahatan serta mengetahui usaha yang tepat untuk mencegah kejahatan pada manusia.


Mengenai pembahasan kriminologi meliputi 3 (tiga) hal pokok yang terdiri dari:
1.  Proses pembuatan hukum pidana dan acara pidana (making laws). Adapun pembahasan dalam proses pembuatan hukum pidana (process of making laws), meliputi: 
Definisi kejahatan;
Unsur-unsur kejahatan;
Relativitas kejahatan;
Penggolongan kejahatan; dan 
Statistik kejahatan.

2.  Etiologi kriminal, yakni membahas tentang teori-teori yang menyebabkan terjadinya kejahatan (breaking of laws). Adapun yang dibahas dalam etiologi kriminal, meliputi: 
Aliran atau mazhab kriminologi;
Teori-teori kriminologi; dan
Berbagai perspektif kriminologi.

3. Reaksi terhadap pelanggaran hukum (reacting toward the breaking of laws), Reaksi dalam hal ini bukan hanya ditujukan kepada pelanggar hukum berupa tindakan represif tetapi juga reaksi terhadap calon pelanggar hukum berupa upaya-upaya pencegahan kejahatan (criminal prevention). Adapun yang dibahas dalam bagian ketiga ini adalah perlakuan terhadap pelanggar-pelanggar hukum (reacting toward the breaking of laws) yang meliputi:
Teori-teori penghukuman;
Upaya-upaya penanggulangan atau pencegahan kejahatan baik berupa:
Tindakan preventif; 
Tindakan represif; dan 
Tindakan rehabilitatif.

Berdasarkan uraian singkat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kriminologi (criminology) merupakan suatu bidang ilmu yang cukup penting untuk dipelajari karena dengan adanya kriminologi, kita dapat mempergunakannya sebagai kontrol sosial (social control) terhadap kebijakan dan pelaksanaan hukum pidana.

Kriminologi itu sendiri merupakan bagian dari ilmu sosial akan tetapi kriminologi tidak dapat dipisahkan dengan bidang ilmu hukum karena merupakan bagian dari kurikulum program studi ilmu hukum (hukum pidana) yang perlu diajarkan bagi mahasiswa hukum di perguruan tinggi dan juga bagi para aparat penegak hukum seperti Polisi dan Jaksa. Dengan adanya lembaga kriminologi diharapkan dapat memberikan ide dalam mengembangkan kriminologi sebagai science for welfare of society.


Hukum Pidana (Criminal Law) 
Hukum Pidana merupakan suatu disiplin ilmu normatif (normative discipline) yang mempelajari aturan tentang kejahatan atas tindakan-tindakan yang disebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berupa kejahatan atau pelanggaran yang dapat dikenai hukuman pidana. 

Dengan kata lain, apabila belum ada peraturan perundang-undangan yang memuat dan mengatur tentang hukuman yang dijatuhkan kepada penjahat atau pelanggar atas tindakannya maka tindakan tersebut tidak dapat dikenakan hukuman sebagaimana asas yang dikenal dalam hukum pidana, yaitu tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu atau nullum delictum, nulla poena sine praviea lege poenali. (untuk penjelasan selengkapnya tentang pengertian hukum pidana silahkan baca: disini).

Persamaan Kriminologi dan Hukum Pidana

Adapun kriminologi (criminology) memiliki persamaan dengan hukum pidana (criminal law), yaitu sebagai berikut:
1.  Hal mana kriminologi dengan hukum pidana memiliki hubungan langsung dengan: 
Pelaku Kejahatan; Hukuman; dan Perlakuannya. 

2.  Hukum pidana dan kriminologi dengan beberapa pertimbangan merupakan instrumen dan sekaligus alat kekuasaan negara dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yang memiliki kolerasi positif dan berpihak pada premis yang sama. Negara merupakan sumber kekuasaan dan seluruh alat perlengkapan negara merupakan pelaksanaan dari kekuasaan negara; 

3.  Hukum pidana dan kriminologi memiliki persepsi yang sama bahwa masyarakat adalah bagian dari obyek pengaturan oleh kekuasaan negara bukan subyek yang memiliki kedudukan yang sama dengan negara; 

4.  Hukum pidana dan kriminologi menempatkan peranan negara lebih dominan daripada peranan individu dalam menciptakan ketertiban dan keamanan masyarakat. 


Perbedaan Kriminologi dan Hukum Pidana
Adapun perbedaan kriminologi (criminology) dan hukum pidana (criminal law), yaitu sebagai berikut: 

1.  Kalau kriminologi memiliki pengertian kejahatan yang berbeda dengan hukum pidana, adapun kejahatan menurut kriminologi adalah tindakan manusia dalam pertentangannya dengan beberapa norma yang ditentukan oleh masyarakat, lain halnya dengan hukum pidana yang menentukan kejahatan berdasarkan tindakan-tindakan yang telah dirumuskan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP); 

2.  Kalau obyek dari kriminologi adalah orang dalam pertentangan dengan norma-norma sosial sedangkan obyek hukum pidana adalah kejahatan dan pelanggaran yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan; 

3.  Kalau kriminologi terpusat pada faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan sedangkan hukum pidana terpusat pada pembuktian suatu kejahatan; 

4.  Kalau kriminologi memiliki tujuan untuk mengungkapkan motif atau pola pelaku kejahatan sedangkan hukum pidana ditujukan kepada hubungan antara tindakan dan akibatnya (hubungan kausalitas) yang dapat ditelaah dengan bukti-bukti yang memperkuat adanya niat dari pelaku dalam melakukan tindak pidana atau kejahatan. 

Berkaitan dengan hubungan antara hukum pidana (criminal law) dengan kriminologi (criminology) sebagaimana dijelaskan di atas terdapat perbedaan pandangan dari beberapa para ahli seperti Simons dan Van Hamell memasukkan kriminologi sebagai bagian atau pendukung dari ilmu hukum pidana. 

Adapun alasan yang dikemukakan pada umumnya bahwa untuk menyelesaikan suatu perkara kejahatan tidaklah cukup jika hanya mempelajari pengertian dari hukum pidana yang berlaku, mengonstruksikan apa yang dimaksud serta menjalankannya sesuai sistem akan tetapi perlu diselidiki juga penyebab terjadinya kejahatan tersebut terutama mengenai tentang diri pribadi pelaku kejahatan serta tentang cara-cara pemberantasan kejahatan tersebut. 

Sedangkan Zevenbergen berpendapat bahwa kriminologi termasuk dalam ilmu hukum pidana. Adapun alasan yang dikemukakan oleh Zevenbergen adalah sebagai berikut:
1.  Ilmu hukum pidana merupakan ilmu untuk mengetahui atau mempelajari hukum positif yang terdiri dari norma-norma dan sanksi pidananya. 

2.  Pidana merupakan balasan atau ganjaran bagi seseorang pelaku tindak pidana yang telah melakukan kejahatan. Dengan adanya penekanan pada pidananya, maka kriminologi tidak memiliki keterkaitan dengan hal tersebut.

3. Metode ilmu hukum pidana adalah deduktif, hal mana ketentuan-ketentuan hukum pidana sudah ada. Oleh karena itu, metode yang digunakan berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum pidana inilah yang dinilai apakah suatu tindakan termasuk suatu tindak pidana atau bukan. Sedangkan metode dari kriminologi  adalah empiris induktif, hal mana metode yang digunakan berdasarkan penyelidikan secara empiris yang kemudian dikaji apakah suatu tindakan dalam kenyataannya berupa suatu kejahatan atau bukan tanpa terikat pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam hukum positif. 

Adapun untuk perbedaannya dapat kita lihat dari contoh di bawah ini : 
Mr. X telah melakukan kejahatan atau tindak pidana "pembunuhan". Dari peristiwa pidana tersebut kemudian dikaji dari sisi kriminologi (criminology) yang ingin mengetahui apa yang menjadi latar belakang dari Mr. X sehingga melakukan tindak pidana pembunuhan dan pertanyaan yang lain timbul adalah mengapa dia melakukan tindak pidana pembunuhan tersebut. 

Sedangkan dari segi Hukum Pidana (criminal law) ingin mengetahui apakah Mr. X telah melakukan kejahatan dan pertanyaan yang timbul apakah dia telah melakukan kejahatan. Dengan kata lain, hukum pidana terlebih dahulu menetapkan seseorang sebagai penjahat lalu kriminologi meneliti mengapa seseorang tersebut melakukan kejahatan.
Share:
Jasaview.id

Arsip Blog

https://www.tiket.com/?twh=28335430

https://www.canva.com/join/tgg-czw-mlw

https://www.easycash.com/?twh=28335430

https://www.tokopedia.com/?twh=28335430

https://scholar.google.com/citations?user=sSo15lEAAAAJ
https://www.mendeley.com/?interaction_required=true
https://www.turnitin.com/
https://sinta.kemdikbud.go.id/
Web Hosting
https://unr.siakadcloud.com/gate/login