Media Belajar Bersama ~ Gak ada yang lebih keren dari orang yang mengejar impiannya

Jumat, 19 Januari 2024

Hukum Adat [19-01-24]

Hubungan antara Tri Hita Karana dengan Hukum Adat

Tri Hita Karana adalah sebuah filsafat tradisional yang berasal dari pulau Bali, Indonesia. Secara harfiah, Tri Hita Karana dapat diterjemahkan sebagai "tiga penyebab kesejahteraan" atau "tiga alasan kemakmuran" Filsafat ini mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan dan harmoni antara tiga aspek dalam kehidupan, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan manusia dengan sesamanya (Pawongan), dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya (Palemahan)  .


Dalam konteks hukum adat, Tri Hita Karana memiliki kaitan erat dengan prinsip-prinsip hukum adat yang berlaku di masyarakat Bali. Hukum adat adalah seperangkat aturan dan norma yang diwariskan secara turun-temurun dan mengatur kehidupan masyarakat adat Prinsip-prinsip hukum adat Bali, yang mencakup Tri Hita Karana, menjadi dasar dalam mengatur hubungan antara masyarakat dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitar.


Hubungan dengan Tuhan (Parahyangan): Dalam konteks hukum adat, hubungan manusia dengan Tuhan diwujudkan melalui pelaksanaan upacara keagamaan dan penghormatan terhadap dewa-dewa yang dipercaya. Upacara-upacara keagamaan ini merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat Bali dan diatur oleh hukum adat .


Hubungan dengan sesama manusia (Pawongan): Prinsip Pawongan dalam Tri Hita Karana mengajarkan pentingnya menjaga hubungan yang harmonis antara satu manusia dengan manusia lainnya. Dalam konteks hukum adat, prinsip ini tercermin dalam norma-norma sosial dan adat-istiadat yang mengatur interaksi antarindividu dalam masyarakat Bali. Hukum adat Bali mendorong kerukunan, toleransi, dan saling menghormati antara sesama manusia .



Dosen:

Dr. Cokorde Istri Dian Laksmi Dewi, SH.,MH.


Hubungan dengan alam sekitar (Palemahan): Prinsip Palemahan dalam Tri Hita Karana menekankan pentingnya menjaga hubungan harmonis antara manusia dengan alam sekitarnya. Dalam konteks hukum adat, prinsip ini tercermin dalam aturan-aturan yang mengatur pengelolaan sumber daya alam, pelestarian lingkungan, dan perlindungan terhadap flora dan fauna. Hukum adat Bali mendorong kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan alam sekitar .


Dengan demikian, Tri Hita Karana dan hukum adat saling terkait dan saling mempengaruhi. Prinsip-prinsip Tri Hita Karana menjadi landasan dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum adat Bali, yang bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang harmonis, seimbang, dan berkelanjutan di antara manusia, Tuhan, dan alam sekitar .


Photo by Zhu Peng

Share:

Kamis, 11 Januari 2024

Arbitrase Komersial Internasional di Indonesia - Perkembangan Terkini [13-01-23]

Arbitrase komersial internasional adalah metode alternatif penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak-pihak dari berbagai negara yang sepakat untuk menyelesaikan perselisihan mereka di luar pengadilan domestik. Arbitrase ini dilakukan berdasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang terlibat dalam sengketa.


Di Indonesia, perkembangan terkini dalam arbitrase komersial internasional mencakup beberapa hal berikut:

  • Hukum Arbitrase di Indonesia: Hukum arbitrase di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang ini mengadopsi prinsip-prinsip dari Model Law on International Commercial Arbitration yang dikeluarkan oleh United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL).
  • Lembaga Arbitrase: Di Indonesia, terdapat beberapa lembaga arbitrase yang menyediakan layanan penyelesaian sengketa melalui arbitrase komersial internasional. Salah satu lembaga yang terkenal adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Lembaga ini memiliki peraturan dan prosedur yang mengatur pelaksanaan arbitrase komersial internasional di Indonesia.
  • Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan: Indonesia mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional. Hal ini diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam undang-undang ini, dijelaskan bahwa putusan arbitrase internasional dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia, asalkan memenuhi persyaratan yang ditetapkan .
  • Perkembangan Terkini: Perkembangan terkini dalam arbitrase komersial internasional di Indonesia meliputi peningkatan kesadaran dan penggunaan arbitrase sebagai metode penyelesaian sengketa di dunia usaha. Arbitrase dianggap sebagai alternatif yang efektif dan populer dalam menyelesaikan sengketa komersial, karena dapat memberikan keuntungan seperti kecepatan, kerahasiaan, dan fleksibilitas dalam proses penyelesaian sengketa.

Share:

Selasa, 09 Januari 2024

Hukum dan Konstitusi [12-01-24]

Konstitusi

Konstitusi adalah sekumpulan aturan dan ketentuan dasar yang mengatur perikehidupan suatu negara. Secara umum, terdapat dua jenis konstitusi, yaitu konstitusi tertulis dan konstitusi tak tertulis. Konstitusi tertulis adalah aturan pokok dasar negara yang dituangkan dalam sebuah dokumen, seperti Undang-Undang Dasar (UUD). Sementara itu, konstitusi tak tertulis merujuk pada norma-norma dan prinsip-prinsip yang tidak terdokumentasikan secara tertulis, namun tetap berlaku dalam sistem hukum suatu negara .


Hukum

Hukum adalah seperangkat aturan yang mengatur perilaku masyarakat dan hubungan antara individu dalam suatu negara. Hukum memiliki berbagai fungsi, antara lain:

  • Menjaga ketertiban dan keadilan dalam masyarakat.
  • Melindungi hak-hak dan kebebasan individu.
  • Menyelesaikan sengketa dan konflik.
  • Mengatur hubungan antara individu dan pemerintah.
  • Menetapkan sanksi bagi pelanggaran hukum.

Hubungan antara Hukum dan Konstitusi

Konstitusi merupakan landasan hukum utama suatu negara. Hukum yang berlaku dalam suatu negara harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konstitusi. Konstitusi menetapkan struktur pemerintahan, pembagian kekuasaan, hak-hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip dasar yang harus diikuti oleh hukum yang dibuat. Dalam hal terjadi sengketa atau pertentangan antara hukum dan konstitusi, biasanya Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa tersebut.


Konstitusi di Indonesia

Konstitusi Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945. UUD 1945 mengatur berbagai aspek kehidupan negara, seperti pembentukan, pembagian wewenang, dan cara kerja lembaga-lembaga negara. Konstitusi Indonesia juga mengandung nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila merupakan ideologi negara yang terdiri dari lima sila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia .


Peran Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga peradilan yang memiliki kewenangan untuk memutuskan sengketa yang berkaitan dengan konstitusi. MK bertugas menjaga keberlakuan konstitusi, menafsirkan ketentuan-ketentuan konstitusi, dan memutuskan sengketa yang berkaitan dengan konstitusi. MK juga memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara.

Share:

Kamis, 04 Januari 2024

Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi [30-12-23]

Pembangunan ekonomi merupakan proses yang melibatkan pertumbuhan, distribusi, dan penggunaan sumber daya ekonomi untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan. Hukum memainkan peran penting dalam mendukung, mengatur, dan melindungi berbagai aspek kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat.


1. Fondasi Hukum dalam Pembangunan Ekonomi

Hukum ekonomi memberikan landasan yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi. Ini mencakup hukum kontrak yang mengatur hubungan antara pelaku ekonomi, hukum properti yang melindungi hak milik, hukum pajak yang memengaruhi pengeluaran dan investasi, serta regulasi bisnis yang menciptakan kerangka kerja untuk beroperasinya perusahaan.






Dosen: Dr. I Gusti Ayu Manik Silvia Dewi, A.Par, S.H., M.Kn.

2. Perlindungan Hukum bagi Pelaku Ekonomi

Perlindungan hukum terhadap hak kekayaan intelektual sangat penting dalam mendorong inovasi dan kreativitas di sektor ekonomi. Regulasi perdagangan dan investasi memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pelaku bisnis untuk bertransaksi dan berinvestasi. Hukum persaingan usaha juga diperlukan untuk mencegah monopoli yang dapat merugikan ekonomi secara keseluruhan.


3. Hukum sebagai Penyokong Pertumbuhan Ekonomi

Regulasi keuangan dan perbankan menciptakan kerangka kerja yang stabil untuk sistem keuangan suatu negara. Selain itu, hukum juga berperan dalam pembangunan wilayah dan kesejahteraan sosial dengan mengatur distribusi kekayaan secara adil. Di era teknologi modern, hukum turut terlibat dalam pengembangan teknologi dan inovasi sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi.


4. Tantangan dan Peluang di Bidang Hukum Ekonomi

Tantangan yang dihadapi termasuk adaptasi terhadap globalisasi ekonomi, reformasi hukum yang diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, serta menyesuaikan hukum dengan dinamika ekonomi masa depan. Reformasi hukum yang tepat dapat menjadi peluang untuk memperbaiki kerangka kerja hukum yang ada guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.


Hukum memainkan peran yang sangat penting dalam setiap tahapan pembangunan ekonomi. Melalui landasan hukum yang kuat, perlindungan bagi pelaku ekonomi, serta regulasi yang mendukung pertumbuhan, hukum menjadi tulang punggung bagi perkembangan ekonomi suatu negara. Reformasi hukum yang tepat dan adaptasi terhadap perubahan ekonomi merupakan kunci untuk memastikan peran hukum tetap relevan dan efektif dalam mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Kemajuan ekonomi yang berkelanjutan tergantung pada keseimbangan antara kebebasan ekonomi untuk beroperasi dan kerangka hukum yang memberikan arahan dan perlindungan bagi semua pelaku ekonomi.

Share:

Jumat, 29 Desember 2023

Perbandingan Hukum Indonesia dengan Luar Negeri [Kuliah Umum][29-12-23]


Nathan Franklin Ph. D (Charles Darwin University)

Share:

Jumat, 22 Desember 2023

Politik Hukum Pidana [22-12-23]

Politik Hukum Pidana adalah konsep yang berkaitan dengan pembuatan dan perubahan hukum pidana dalam suatu negara. Hal ini melibatkan proses politik, kebijakan, dan pertimbangan sosial dalam mengatur perbuatan yang melanggar hukum dan memberikan sanksi pidana kepada pelaku.

Dalam konteks pembaharuan hukum pidana, terdapat beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan. Berikut adalah beberapa poin penting terkait Politik Hukum Pidana dalam hal pembaharuan hukum pidana:

  • Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengatur perbuatan yang dilarang dan mengancam dengan sanksi pidana bagi pelakunya . Hukum pidana mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum .
  • Pembaharuan hukum pidana adalah proses perubahan dan penyesuaian hukum pidana dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan zaman. Pembaharuan ini dapat dilakukan melalui revisi peraturan perundang-undangan yang ada atau dengan membuat undang-undang baru.
  • Asas legalitas adalah prinsip hukum yang menyatakan bahwa tidak ada tindakan pidana kecuali telah diatur dalam undang-undang yang berlaku sebelumnya. Dalam pembaharuan hukum pidana, asas legalitas menjadi penting untuk memastikan bahwa perubahan hukum pidana dilakukan secara jelas dan sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku .
  • Pembaharuan hukum pidana dapat dilakukan dengan melakukan perubahan secara materiil atau substantif. Perubahan ini melibatkan perubahan dalam rumusan pasal-pasal hukum pidana, termasuk definisi perbuatan pidana, ancaman pidana, dan sanksi pidana yang diberikan .
  • Pembaharuan hukum pidana melibatkan proses politik dalam pengambilan keputusan. Proses ini melibatkan partisipasi berbagai pihak, seperti pemerintah, lembaga legislatif, akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat umum. Tujuan dari proses politik ini adalah untuk mencapai konsensus dalam pembuatan dan perubahan hukum pidana.
  • Dalam pembaharuan hukum pidana, penting untuk mempertimbangkan aspek sosial dan kepentingan masyarakat. Pertimbangan ini meliputi perlindungan hak asasi manusia, keadilan, efektivitas penegakan hukum, dan kebutuhan masyarakat dalam menghadapi perkembangan sosial dan teknologi.







Pengajar:
Prof. Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H.

Dalam pembaharuan hukum pidana, terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi keputusan dan arah pembaharuan tersebut. Faktor-faktor tersebut meliputi perubahan sosial, perkembangan teknologi, perubahan nilai dan norma masyarakat, serta pengalaman dari implementasi hukum pidana yang ada.

Pembaharuan hukum pidana merupakan proses yang kompleks dan membutuhkan keterlibatan berbagai pihak. Tujuannya adalah untuk menciptakan hukum pidana yang lebih efektif, adil, dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan zaman.

Dalam politik hukum pidana, terdapat beberapa konsep baru yang perlu diperhatikan dalam pembaharuan hukum pidana. Berikut adalah beberapa konsep baru yang relevan:

  • Konsep baru dalam politik hukum pidana adalah pentingnya peraturan perundang-undangan yang jelas dan terkini. Peraturan perundang-undangan ini mencakup undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah yang mengatur perbuatan yang melanggar hukum pidana .
  • Dalam pembaharuan hukum pidana, penting untuk mempertimbangkan aspek sosial dan kepentingan masyarakat. Pertimbangan ini meliputi perlindungan hak asasi manusia, keadilan, efektivitas penegakan hukum, dan kebutuhan masyarakat dalam menghadapi perkembangan sosial dan teknologi.
  • Asas legalitas adalah prinsip hukum yang menyatakan bahwa tidak ada tindakan pidana kecuali telah diatur dalam undang-undang yang berlaku sebelumnya. Dalam pembaharuan hukum pidana, asas legalitas menjadi penting untuk memastikan bahwa perubahan hukum pidana dilakukan secara jelas dan sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku .
  • Konsep baru dalam politik hukum pidana adalah pengaruh kriminologi dalam memahami penyebab seseorang melakukan tindakan pidana. Kriminologi mempelajari faktor-faktor sosial, psikologis, dan ekonomi yang mempengaruhi perilaku kriminal, sehingga dapat membantu dalam pembuatan kebijakan hukum pidana yang lebih efektif .
  • Konsep baru dalam politik hukum pidana adalah pentingnya pemidanaan yang adil. Hal ini melibatkan pertimbangan hakim dalam menentukan sanksi pidana yang sesuai dengan kejahatan yang dilakukan, dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti bentuk kesalahan pelaku, motif dan tujuan tindak pidana, serta sikap dan tindakan pelaku setelah melakukan tindak pidana .


Penting untuk dicatat bahwa konsep-konsep baru dalam politik hukum pidana terus berkembang seiring dengan perubahan sosial, teknologi, dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana harus terus mengikuti perkembangan tersebut untuk menciptakan hukum pidana yang lebih efektif dan adil.


Photo by Andrea Piacquadio



Share:

Sabtu, 02 Desember 2023

Hukum Adat [02-12-23]

Istilah Adat

Istilah “adat”,  berasal dari “adab” (bahasa Arab), pertama dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menunjuk kepada aturan kebiasaan yang selama ini telah ada dan untuk membedakannya dengan hukum yang bersumber dari agama (hukum syariah). 

Masing-masing daerah di Indonesia, memiliki istilah tersendiri, untuk menyebut adat, seperti: 

Aceh: Odot.

Lampung: Hadat.

Jawa Tengah/Timur: Ngadat.

Batak: Basa/Bicara.

Minangkabau: Adat Lembago.

Dayak: Mapupuh.

Bali: kerta, pala kerta, dresta, catur dresta, sima,tata krama, tata loka cara, awi-awig, perarem, geguwat, dll. 


Istilah Hukum Adat

Istilah “hukum adat”, pertama kali diperkenalkan  oleh C. Snouck Hurgronje, dengan nama “Adat Recht”,  dalam bukunya “De Atjehers”, yang terbit pada tahun 1892. Selanjutnya istilah ini  dipergunakan dan dipopulerkan oleh Van Vollenhoven.

Istilah tersebut sebenarnya untuk menyebut sistem pengendalian sosial (social control) yang tumbuh dan hidup di Indonesia. Adat recht adalah istilah yang paling mendekati untuk menyebut sistem pengendalian sosial yang hidup di Indonesia.

Resmi menjadi istilah yuridis tahun 1929 seperti tercantum dalam Indische Staatsregeling/I.S (1929) Pasal 134 ayat 2, baru dipergunakan istilah “hukum adat” (adattrecht).  


Istilah Adat dan Hukum Adat 

Memperhatikan pengertian hukum adat di atas dapat diketahui bahwa perbedaan “adat” dan “hukum adat”, merupakan konsepsi pemikiran para pemerhati/peneliti hukum adat/ahli hukum Barat. 

Pengertian “adat” dan “hukum adat” dibedakan berdasarkan sanksinya. Sanksi dalam “hukum adat” jelas/tegas, tidak demikian halnya dengan sanksi dalam “adat”.

Dalam kehidupan masyarakat hukum adat di Hindia Belanda (khususnya di Bali) kedua istilah itu dianggap sama.

Di Bali: awig-awig, perarem, geguat, kerta, pala kerta, dresta, catur dresta, sima, tata krama, tata loka cara, dll, pada awalnya dianggap sama. 


Pengertian Hukum Adat

Van Vollenhoven: hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan – peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat – ala kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.

Ter Haar: hukum adat lahir dari dan dipelihara oleh keputusan – keputusan, keputusan – keputusan para warga masyarkat hukum, terutama keputusan berwibawa dari kepala – kepala rakyat yang membantu pelaksanaan pernuatan hukum.

Soepomo: hukum adat adalah sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan – peraturan legislatif (unstatutory law), meliputi peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.

Sukanto: hukum adat adalah sebagai kompleks adat – adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, mempunyai akibat hukum.

Hasil seminar hukum adat dan pembinaan hukum nasional tanggal 15 s/d 17 Januari 1975 di Yogyakarta sebagai berikut : “hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tetulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang sana sini mengandung unsu agama.


Adat dan Hukum Adat Masih Perlukah pada Zaman Now?

Saya berpendapat masih tetap perlu diketahui, dimengerti, dipahami, dan diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat zaman now. Berikut beberapa alasannya.

Alasan Sosiologis: masih ada dan masih dihormati (ditaati) oleh masyarakatnya. Lebih-lebih lagi untuk di Bali. Dalam banyak hal, hukum adat Bali masih berlaku. Beberapa contoh, perkawinan, tanah, waris, dll.  

Alasan Yuridis: ada landasan yuridis yang jelas mengenai keberadaan hukum adat.

Alasan Filosofis: sejalan dengan pandangan hidup masyarakat dan Pancasila sebagai pandangan hukum bangsa Indonesia.


Alasan Yuridis

UUD 1945 (Sebelum Amendemen)

Pasal II Aturan Peralihan

Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini. 

Penjelasan UUD 1945

II. Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250  zelfberturende landschappen dan voksgemeeschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.  Daerah-daerah ini mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. 

Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara mengenai daerah-daerah itu  akan mengikuti hak-hak asal usul daerah tersebut. 


UUD NRI 1945 (Sesudah Amendemen)

Pasal 18B ayat (2)

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah  yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan ungang-undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan  perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indodnesia, yang diatur dalam undang-undang. 

Pasal 28I ayat (3)

(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. **)

Pasal 32

Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. ****)

Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. ****)


UU Nomor 1 Tahun 2023 Tentang KUHP

Pasal 1

(1) Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.

(2) Dalarn menetapkan adanya tindak pidana dilarang digunakan analogi.

Pasal 2

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.

(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.

(3) Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.


UU Nomor 1 Tahun 2023 Tentang KUHP

Pasal 1

(1) Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.

(2) Dalarn menetapkan adanya tindak pidana dilarang digunakan analogi.

Pasal 2

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.

(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.

(3) Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 64

Pidana terdiri atas:

a.  pidana pokok;

b. pidana tambahan; dan

c. pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang.


Pasal 65

(1) Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a terdiri atas:

a. pidana penjara;

b. pidana tutupan;

c. pidana pengawasan;

d. pidana denda; dan

e. pidana kerja sosial.

(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat atau ringannya pidana.


Pasal 66

(1) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf  b terdiri atas:

a. pencabutan hak tertentu;

b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;

c. pengumuman putusan hakim;

d. pembayaran ganti rugi;

e. pencabutan izin tertentu; dan

f. pemenuhan kewajiban adat setempat.


(2) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dapat dikenakan dalam hal  penjatuhan pidana pokok saja tidak cukup untuk mencapai tujuan pemidanaan.

(3) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhkan 1 (satu) jenis atau lebih.

(4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya.

(5) Pidana tambahan bagi anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana dalam perkara koneksitas dikenakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Tentara Nasional Indonesia.


Pasal 96

(1) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat diutamakan jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).

(2) Pemenuhan kewajiban adat setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda kategori II.

Pasal 79

(l) Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan:

a. kategori I, Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah);

b. kategori II, Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);

c. kategori III, Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);

d. kategori IV, Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);

e. kategori V, Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

f. kategori VI, Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);

g. kategori VII, Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan

h. kategori VIII, Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

(2) Dalam hal terjadi perubahan nilai uang, ketentuan besarnya pidana denda ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


Strategi Belajar/Memahami Hukum Adat

Van Vollenhoven[1] dalam orasinya pada tanggal. 2 Oktober 1901 mengemukakan bahwa untuk mengetahui dan memahami hokum adat, “….maka adalah terutama perlu diselidiki buat waktu apabilapun dan di daerah manapun juga bisa, sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu, hidup sehari-hari. Paling terasa gunanya mempelajari masyarakat adat itu, jikalau kita hendak memahami segala hubungan hukum dan tindakan hukum dibidang perkawinan menurut adat, dibidang pertalian sanak (keluarga) menurut adat dan dibidang waris menurut adat” (Soepomo, 1977: 41; Bushar Muhammad, 1994: 21). 

[1]  Seperti halnya V.E. Korn, Van Vollenoven (gurunya Ter Haar), juga seorang  intelektual berkebangsaan Belanda, yang pernah mengadakan penelitian kepustakaan tentang hukum adat di Indonesia, dan berhasil menjadikan hukum adat sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri di Universitas Leiden, Belanda. Oleh karena itu, Van Vollenoven dijuluki “Bapak Hukum Adat Indonesia”. 


Istilah Adat dan Hukum Adat Bali

Ada dua jenis masyarakat hukum adat yang paling dikenal di Bali, yaitu: “desa adat” dan “subak”. 

Telah dikemukakan bahwa dalam kehidupan masyarakat hukum adat di Bali (desa adat dan subak) pada awalnya istilah “adat” dan “hukum adat” dianggap sama, walaupun disebut dengan berbagai istilah, seperti: awig-awig, perarem, geguat, kerta, pala kerta, dresta, catur dresta, sima, tata krama, tata loka cara, dll, pada awalnya dianggap sama. 

Sejalan dengan perkembangan zaman, istilah-istilah itu mengalami perubahan, semakin mengerucut menjadi “hukum adat Bali”, “awig-awig” dan “perarem” . Muncul juga istilah “desa mawacara” dan “Bali mawacara”. 

Perubahan lainnya: “adat” dan “hukum adat Bali” pada akhirnya juga dibedakan berdasarkan sanksi yang menyertai mengikuti konsepsi pemikiran para pemerhati/peneliti hukum adat/ahli hukum Barat. Sanksi dalam “hukum adat Bali” jelas/tegas, tidak demikian halnya dengan sanksi dalam “adat Bali”. 

Ketentuan “adat” dan “hukum adat Bali” yang sebelumnya lebih banyak tidak tertulis, sekarang diusahakan lebih banyak tertulis. 



Dosen pengajar:

Prof. Dr. Wayan P. Windia





Photo by Tima Miroshnichenko

Share:
Jasaview.id

Arsip Blog

https://www.tiket.com/?twh=28335430

https://www.canva.com/join/tgg-czw-mlw

https://www.easycash.com/?twh=28335430

https://www.tokopedia.com/?twh=28335430

https://scholar.google.com/citations?user=sSo15lEAAAAJ
https://www.mendeley.com/?interaction_required=true
https://www.turnitin.com/
https://sinta.kemdikbud.go.id/
Web Hosting
https://unr.siakadcloud.com/gate/login