Media Belajar Bersama ~ Gak ada yang lebih keren dari orang yang mengejar impiannya

Jumat, 28 April 2023

Hukum dan Konstitusi [29-04-23]

Ujaran Kebencian (Hate speech) adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku Pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut.

Ujaran kebencian biasanya menyangkut ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain. Ujaran kebencian dapat berupa penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, menghasut, menyebarkan berita bohong.

Dalam KUHP, ujaran kebencian berupa penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong. Warga yang merasa menjadi korban dapat melaporkan hal tersebut ke kepolisian.


Ketentuan UU ITE terkait ujaran kebencian, permusuhan dan SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan), terdapat pada Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2). Pasal 28 ayat (2) berbunyi: 

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. 

Pasal 28 ayat (2) ini tidak bisa dilepaskan dari Pasal 45A ayat (2) UU ITE yang mengatur sanksi pidananya. Terkait delik ujaran kebencian, UU ITE memang membagi dua bagian ketentuan. Pasal terkait perbuatan yang dilarang di satu bagian, dan ketentuan tentang sanksi pidana di bagian lainnya. 

Pasal 45A ayat (2) UU ITE berbunyi: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Dosen pengajar: Dr. Wayan Santoso, S.H., M.H.






Ketentuan yang terdapat pada Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU ITE dinyatakan dicabut oleh UU KUHP yang baru. Pasal itu kemudian diganti dan direformulasi menjadi Pasal 243 ayat (1) jo ayat (2) UU KUHP baru yang berbunyi: Pasal 243 ayat (1): 

“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi pernyataan perasaan permusuhan dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, terhadap satu atau beberapa golongan atau kelompok penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik yang berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.


Kedua, KUHP yang baru juga menetapkan pidana tambahan sebagaimana diatur pada Pasal 243 ayat (2) KUHP baru yang berbunyi: “Jika setiap orang sebagai mana dimaksud pada ayat (1) melakukan tindak pidana tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf f”. Pasal 86 huruf f mengatur pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu berupa pencabutan hak untuk menjalankan profesi tertentu.


Selain menerapkan pidana tambahan pada Pasal 243 ayat (2) UU KUHP juga menerapkan hukuman yang lebih rendah dibanding UU ITE. Sanksi yang semula berupa pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar dalam UU ITE, menjadi pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV dalam UU KUHP baru. Selain itu, frasa "terlihat oleh umum", "terdengar oleh umum", “…dengan sarana teknologi informasi, yang berisi pernyataan perasaan permusuhan dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum” pada Pasal 243 ayat (1) KUHP baru juga menekankan adanya unsur "public virtual".  Di samping itu harus dibuktikan adanya maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dari pelakunya. Hal ini penting, terutama untuk membedakan konten mana yang sifatnya sekadar komunikasi online antar individu, yang seringkali disebut “japri” dalam bentuk direct message, yang memang tidak dimaksudkan untuk diketahui umum, dan tindakan mana yang merupakan komunikasi publik dengan maksud untuk diketahui khalayak (public virtual). Jika yang dilakukan adalah hal terakhir, tentu dapat dikualifikasikan bahwa postingannya memang dimaksudkan untuk diketahui umum, atau sengaja disebarkan untuk konsumsi publik.


Photo by Pixabay


Share:

Hukum dan Konstitusi [28-04-23]

K. C. Wheare: Konstitusi adalah keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara yang berupa kumpulan peraturan yang membentuk dan mengatur/memerintah dalam pemerintahan suatu negara. Herman Heller: konstitusi lebih luas daripada UUD.


Hubungan Konstitusi dengan Hukum

Konstitusi merupakan sebuah peraturan hukum yang mendasar, yang mengatur tugas-tugas dan organisasi kekuasaan negara serta mengatur hubungan hukum negara terhadap masingmasing warga negara.


Hukum Konstitusi adalah hukum cabang atau spesialisasi Hukum Tata Negara yang mempelajari konstitusi sebagai objek material dan hukum dasar sebagai objek formal termasuk undang-undang dasar sebagai hukum dasar tertulis yang menjadi dasar hukum tertulis tertinggi dari tata hukum nasional.


Tujuan konstitusi sebagai hukum tertinggi adalah untuk mencapai keadilan, ketertiban, dan perwujudan nilai ideal seperti kemerdekaan, kebebasan, kesejahteraan, serta kemakmuran bersama.


Kedudukan konstitusi tentunya berada pada puncak ujung tertinggi yang melandasi pembentukan aturan hukum lainnya. Sistem hukum tersebut tentunya diterima oleh banyak orang dan mengikat sehingga memiliki otoritas hukum. Akan tetapi, konstitusi tidak selalu dimaknai sebagai sebuah dokumen hukum dalam sistem hukum.


Konstitusi merupakan syarat mutlak keberlangsungan suatu negara karena konstitusi memuat sendi-sendi untuk menegakkan bangunan negara.







Apa saja fungsi konstitusi sebagai hukum dasar suatu negara?

1. Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara. 2. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antarorgan negara. 3. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antarorgan negara dengan warga negara. 4. Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara.


Secara umum, konstitusi dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis.


Dalam praktek ketatanegaraan Republik Indonesia konstitusi sama dengan pengertian undang-undang dasar. Hal ini terbukti dengan disebutkannya istilah konstitusi Republik Indonesia Serikat bagi undang-undang dasar Republik Serikat ( Kaelan, 2000:99).


Konstitusi suatu negara pada hakekatnya merupakan hukum dasar tertinggi yang memuat hal-hal mengenai penyelenggaraan negara, karenanya suatu konstitusi harus memiliki sifat yang lebih stabil dari pada produk hukum lainnya.


Contoh Konstitusi Tertulis

Di Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) merupakan konstitusi tertulis dan diakui sebagai hukum tertinggi NKRI (the supreme law of the land).


Terdapat empat contoh konstitusi tidak tertulis di Indonesia, yaitu pidato kenegaraan, musyawarah, pidato presiden di awal tahun dan adat istiadat.


Foto oleh Andrea Piacquadio

Share:
Jasaview.id